jehasvvrite

Suasana ramai pada aula SM Global di lantai 3, membuat beberapa orang harus rela berdesakan di antara ratusan pengunjung yang datang.

Peluncuran buku terbaru Syakilla Meira, nyatanya tidak pernah mengecewakan, terbukti bahwa para penggemar nya yang rela mengantri demi membeli dan mendapatkan tanda tangan dari sang penulis.

“Acaranya sampe jam berapa?” Syakilla menoleh pada Aqia yang mengulurkan sebotol air mineral kepadanya.

“Sekitar jam 12, masih kurang setengah jam lagi.” “Huhh, makasih.”

Aqia hanya terkekeh pelan melihat bagaimana raut wajah Syakilla yang mencoba terlihat ramah, padahal gadis itu sudah kelewat lelah sebab berinteraksi langsung dengan banyak penggemarnya, ditambah ia sedang mengalami kram pada perutnya sebab menstruasi.

“Gue cariin jahe anget dulu buat nyeri lo, gimana?”

“Boleh deh, jujur, gue nggak kuat.” Bisik Syakilla.

“Gue bisa minta ini ke Pak Marcー” “Gak usah, tanggung, kurang setengah jam lagi, kan?”

“Lo yakin?”

Syakilla mengangguk, gadis dengan balutan blazer putih itu hanya menatap Syakilla sendu sebelum mengangguk ragu.

“Gue cari jahe anget dulu, kalau ada apa apa, langsung telfon gue, ok?”

Syakilla hanya mengangguk sebagai jawaban, dan ia kembali menyapa penggemarnya yang sudah mengantre di depannya.


Langkah gontai menjadi hal yang dimaklumi oleh Aqia kepada Syakilla, karena dirinya tau bagaimana lelahnya sahabat sekaligus atasannya itu.

“Pak Marcello masih meeting ternyata, Kil.” Gadis dengan raut wajah yang terlihat kusut itu hanya menghela napasnya perlahan.

“Yaudah, pulang aja.” “Yaudah, gueー”

“Syakilla.” Kedua gadis yang tengah berbincang di depan lift itu segera menoleh ke arah sumber suara, mendapati Gio dengan serangkai bunga pada genggamannya.

“Gio.” “Hai,” Gio menatap Syakilla sebelum tersenyum ke arah Aqia yang juga menatapnya, “Aqia, lama nggak ketemu.”

Aqia hanya tersenyum sebagai respon, “Gue tunggu di basemen aja, ya.”

Sepasang suami istri itu tersenyum pada Aqia yang perlahan menghilang di balik lift yang menutup.

“So, how was it?” Syakilla melengkungkan bibirnya ke bawah sebelum mendekati Gio, dan menempelkan dahinya pada dada bidang Gio, pemuda itu menyambut perlakuan Syakilla dengan mengusap puncak kepala gadis itu.

“Capek… Capek banget.” “Banyak yang dateng tadi?”

“Uhm..” Syakilla mendongak, menatap Gio tanpa memundurkan tubuhnya hingga jarak diantara mereka terlihat dekat.

“Kram juga perut gue, ck.” “Gara gara PMS itu, ya?” “Heem…” Syakilla melirik bunga yang masih ada pada genggaman lelaki itu.

“Buat gue?” “Oh?” Gio menatap sejenak serangkaian bunga tersebut, sebelum mengulurkannya pada Syakilla.

“For you,” Gio memasukkan tangannya pada saku celana, “Selamat buat novel baru nya, Grumpy.”

Syakilla memutar bola matanya kesal, “Berhenti panggil gue grumpy.”

“Kenapa? Padahal lucu, grumpy, kamu banget.” “I am not”

Gio tertawa pelan sebelum membawa tangannya menangkup kedua pipi Syakilla dan mencubitnya pelan.

“Mau makan siang bareng?” Syakilla menggeleng, ikut menggenggam punggung tangan Gio yang masih menangkup kedua pipinya.

“Kayaknya gue langsung pulang aja deh, sakit banget perutnya.”

“Aku anter.”

“Nooo, ini bukan jam pulang, lo mending balik kantor aja, eh makan siang dulu baru balik kantor, gue sama Aqia aja, dia juga udah di bawah, kan?”

Gio menghela napas, senyumnya tidak luntur sedari tadi.

“Aku anter sampai bawah.”


“Aqia jangan ngebut.”

“Lo udah bilang itu berapa kali, Gio?” Yang berada di mobil terkekeh pelan.

“Syakilla,” “Hmm?”

Kepala Gio sedikit merunduk, hingga kini sejajar dengan Syakilla yang sudah duduk di kursi penumpang mobil.

“Kalau udah sampai, mandi, makan, kalau nggak kuat mandi, gausah mandi, langsung makan aja, di kotak p3k ada heat pack, kemarin di rekomendasiin sama apoteker, katanya bagus buat ngeredain nyeri PMS gini, ok?”

Syakilla tersenyum sebelum mencolek pelan ujung hidung Gio, “Cerewet.”

“Aku serius, Syakilla.”

“Iyaaa, Pak. Siap. Udah, ya? Gue pulang dulu. Habis ini langsung makan terus balik ngantor, biar ngasilin duit banyak.”

“Hahaha,” Gio mengusap pelan puncak kepala Syakilla, “Hati hati.”

Gio keluar dari kamar bersamaan aroma masakan yang terhirup, membuat dirinya mengerutkan dahinya pelan sembari melirik kamar Syakilla yang sedikit terbuka.

“Syakilla?”

Tidak ada orang, hanya sebuah kasur yang sudah tertata rapi, dan beberapa barang disana. Gio yang penasaran, segera turun, dan benar saja, dirinya mendapati Syakilla tengah sibuk dengan berbagai alat masak di dapur.

“Masak apa?” Tanya Gio yang berhasil mengejutkan Syakilla, gadis itu segera membalikkan badan dan menatap Gio yang masih memakai kaos putih serta celana pendek.

Ini hal baru bagi Syakilla, mengingat selama tinggal bersama, Syakilla hanya sekali melihat Gio seperti ini.

“Eh, i-ikan.” Jawab Syakilla seraya melanjutkan aktivitasnya, berusaha untuk meminimalisir degup jantung yang masih berdetak cepat.

Terdengar suara kursi yang di seret ke belakang, “Kamu abis dari pasar?” Syakilla menggeleng.

“Kemarin Aqia kesini sambil bawa ikan, dari ibu nya.” Syakilla meletakkan sepanci sayur ikan yang sudah matang, melirik sekilas pada Gio yang menatapnya.

“U-udah mandi belom? Mandi dulu baru sarapan.” “Udah kok, abis subuh tadi.”

Canggung mendera keduanya, memaksa masuk untuk ikut ke sekeliling mereka.

“Y-yaudah, lo makan dulu aja, gue mau mandi bentar.” “Aku tunggu.”

Syakilla menggelengkan kepala dengan kedua tangan yang melambai di depan, memberi kode bahwa Gio tidak perlu menunggunya.

“Nggak usah, ntar lo telat masuk kantor.”

“It's still 6 AM, Syakilla, don't worry.” Gio terkekeh pada kalimat terakhirnya, mendengar hal itu, Syakilla meringis pelan sebelum membalikkan badan dan meninggalkan Gio yang masih menatapnya dari belakang.


Sekitar 20 menit setelahnya, Syakilla selesai dengan rutinitas mandi, dan kini, dirinya kembali duduk di atas kursi makan, berhadapan dengan pemuda yang tengah menyendokkan sesuap nasi diiringi ikan yang ada diatasnya.

Menggigit pelan bibir bawahnya, Syakilla berulang kali melirik pada Gio yang terlihat menikmati masakannya.

“E-nak?” “Hm?”

Gio menatap Syakilla dengan mulut penuh makanan,

“Enak nggak? M-masakan gue.” Seulas senyum mengembang bersamaan kedua lesung Gio yang terlihat pada pipi Gio yang mengembang sebab makanan.

“Enak. Kamu make santan kental, aku suka.”

“Y-ya, soalnya kalo nggak make santen kental kurang sedep.” Helaan napas lega ia hembuskan sembari melahap makanan yang sedari tadi ia biarkan.

“Kamu pake santen instan?” Syakilla menggeleng seraya menutup mulutnya.

“Gue nggwak sukha makhe santen intsan. Uhuk!”

Gio segera memberikan air putih pada Syakilla yang tersedak, terkekeh pelan pada gadis di hadapannya.

“Maaf,” “Santaian, elah.”

Gio meletakkan gelas yang tandas hingga setengah.

Keduanya kembali terdiam, memilih untuk fokus pada makanan masing masingーatau diam diam sedang menyusun dialog untuk pembahasan kemarin sore?

Karena sekarang, Syakilla tengah mengepalkan tangan kirinya yang berada di atas paha, berusaha untuk membuang rasa gugup serta gengsi nya untuk membicarakan perihal ucapan yang tak seharusnya ia lontarkan pada Gio kemarin sore.

“Gi.” “Ya?”

“Sorry…” Berbagai kalimat yang ia susun sedari malam, terkunci seketika, hanya ucapan maaf yang membuat Gio mengerutkan dahinya.

“For?” “Kemarin sore gue keterlaluan sama lo. Nggak seharusnya gue ngomong begitu ke lo.”

Gio meletakkan sendoknya diatas piring, “Aku pikir kamu nggak mau bahas ini lagi.”

“Ya… Itu kemarin, sekarang gue pengen bahas ini.”

“Well, i told you before kalau aku udah ngerti seberapa takut kamu kalo buat go public.” Gio mengangkat kedua bahunya sekilas, “And i think that clears.

“M-maksudnya?” Ada rasa panik yang tiba tiba menjalar pada dirinya.

“Yaa, intinya nggak perlu di perdebat lagi, dan aku akan berusaha jaga sikap when we are in public.”

Syakilla menatap Gio yang sedari tadi berusaha memutus kontak mata dengan dirinya, pemuda itu mudah dipahami meski hanya sebatas gerak gerik saja.

Dan Syakilla, paham akan hal itu, “Gio. You can mad at me if i too much.”

“But you didn't.”You're a bad liar.” Syakilla terkekeh pelan di akhir kalimat, membuat Gio akhirnya menatap dirinya.

“Lo sadar nggak sih, kalo lo tuh terlalu baik buat gue. Lo terlalu sabar buat ngadepin gue yang keras kepala.” Syakilla menarik napasnya pelan sebelum menghembuskan nya keluar.

“You're tired, aren't you?”

Keduanya saling menatap, menyelami netra masing masing, mencoba untuk menuangkan seluruh keluh kesah lewat tatapan.

“Why don't you stop, Gio.”

Saling menatap, bahkan degup jantung yang berdetak tak karuan dari keduanya, hampir terdengar pada masing-masing indera pendengaran keduanya.

“Whyーdon'tーyouーstop?”

“Cause i love you. What other reason should i give you? Nggak ada, Syakilla. I love you, that's why i won't stop to understanding you, and i don't wanna stop toー hahh, at least aku berusaha bikin kamu nyaman ada di deket aku, thats it.”

“Dan gue nanya, lo nggak capek? Lo nggak capek terus terus an nyamain langkah lo sama gue? Lo nggak capek gitu gitu terus?”

Terlihat Gio menahan napasnya seraya memejamkan matanya, sebelum dirinya kembali menatap Syakillaーistrinya itu.

Seulas senyum ia lukis pada wajah tampannya, “Nggak usah di terusin, sarapan kamu keburu nggak enak udah kamu anggurin dari tadi.”

Syakilla berdecak pelan sebelum melingkarkan kedua tangannya di depan dada.

“Lo tuh ya, ck, punya kapasitas sabar berapa giga sih???”

Gio tertawa pelan sebelum mencondongkan tubuhnya, berniat untuk menyuapkan sepotong daging ikan yang telah ia sisihkan durinya kepada Syakilla.

“Banyak, apalagi buat kamu.”

“Idih, najis.” “Hahahaha.”

Gadis dengan rambut yang ia kuncir asal itu menatap Gio dengan mata yang memicing seraya kembali berkutat dengan makanan yang ada di depannya.

“Btw tentang si Aksara itu,” Syakilla mulai membuka topik baru.

“Awalnya gue nggak make design buatannya, malah make punya Abelia, mereka tuh, kayak musuh bebuyutan gitu loh kalo di kantor, rivalaaan.” Gio mendengarkan dengan seksama sembari menghabiskan makanannya.

“Eh si Aksara sama Abel malah berantem gitu, katanya siiih, gue juga nggak tau pasti soalnya jarang ke kantor. Terus pas malemnya, hari h sebelum cover debut, gue bilang lah ke tim kalo mending gue bikin dua versi aja, ini ide nya Aqia sih, jadi nggak ada iri-irian gitu looh, paham nggak sih loo.”

Gio terkekeh pelan sembari menganggukkan kepalanya pelan, “Terus?”

“Yaudah, akhirnya mereka setuju, terus akhirnya yaudah deeh, buat buku gue, ada dua versi cover. Terus endingnya si Aksara minta ketemu sama gue buat berterima kasih.” Syakilla berdecak pelan pada kalimat terakhirnya.

“Tapi lo malah nuduh gue selingkuh, cih.”

Yang disindir mengangkat kedua alisnya seraya berhenti pada kegiatannya, “Aku nggak ada nuduh kamu selingkuh, Syakilla.”

“Tapi lo ngambek. Make nyamperin segala lagi, lo apa nggak malu?” “Malu sih.” “Kan.”

Keduanya terkekeh dengan netra yang tak lepas untuk menatap. Perlahan, senyum keduanya memudar, namun tidak dengan tatapan yang berubah menjadi tatapan sendu dari Syakilla.

“Tapi, Gi.” “Hmm?”

“Still,” “I'm sorry.”

Gio perlahan kembali mengulas senyum manisnya, mengulurkan tangan kanannya pada milik sang gadis yang berada di atas meja, mengusap pelan punggung tangan kecil Syakilla.

“And me too, aku terlalu berlebihan buat bertindak, maaf.”

Entah hanya perasaan Syakilla, atau bagaimana, namun ia bisa melihat bagaimana pipi Gio merona dengan lesung pipi yang muncul, kantung mata yang kini terlihat berwarna peach itu membuat Syakilla gemas dibuatnya hingga dirinya tak sadar bahwa kini telah mencubit gemas pipi Gio hingga sang empu semakin kelewatan merah.

“Lo lucu banget siiii, gemes gue. Ah!” Ungkap Syakilla dengan tawa, yang dicubit hanya meringis pelan seraya mencoba untuk menutup rasa malunya.

Ya, setidaknya, Syakilla kini tau, bahwa Gio, suaminya itu, selain pendiam dan sabar, dirinya juga pemalu, sangat sangat pemalu dan seorang pembohong yang buruk.

“Btw gue tadi make parutan lo tuhー” “Pake aja, Syakilla, apa yang ada di rumah ini juga punya kamu, nggak perlu izin izin segala.”

Gio kembali menunduk kembali memakan makanan yang tinggal sedikit.

“Tapi masakan gue enak kan?” “Enak, enak banget.”

Syakilla dengan senyum bangga nya kembali menyuapkan daging ikan yang sudah berada diatas sendoknya entah dari kapan. Terlalu buru buru hingga ketika dirinya menelan sepotong daging yang telah ia kunyah, napasnya terhenti.

“Gi-gio.” “Hmm? Apa?” Yang dipanggil mendongak, menatap Syakilla yang kini terdiam di tempat dengan wajah yang tidak bisa Gio tebak.

“Syakilla? Kenapa?”

“Gi, kayaknya gueー” Sang gadis segera menegak segelas air putih yang tinggal setengah hingga habis, dan merebut segelas air putih milik Gio yang masih penuhーhingga habis juga.

“Syakilla? Kamu kenapa?” Gio yang merasa ada yang tidak beres dengan istrinya itu, segera beranjak dari duduknya dan berdiri di samping sang istri yang menopang tubuhnya dengan kedua tangan berada di pinggir meja.

Isakan pelan dari Syakilla semakin membuat Gio panik, “Syakilla, kamu kenapa sih?”

Perlahan, gadis itu mendongak, menatap Gio dengan sorot mata kesakitan bersamaan tangan kiri yang menekan tenggorokannya.

Isakan pelan dari sang gadis, membuat Gio perlahan mengusap pelipis Syakilla yang sedikit basah sebab keringat.

“Gioーhks.” “Kamu kenapa?”

“Giーsa-sakit…” “Nelen duriーhksーa-ahhh, sakittttt.” Syakilla merengek seraya menenggelamkan kepalanya pada dada Gio yang masih terdiam di tempat.

Hingga selang beberapa detik kemudian, sang suami malah terkekeh pelan seraya membalas pelukan dari sang istri.

“Kamu udah gede masih aja nelen duri.” “Enggak sengaja! Ih! Lo kira gueーAAAAAAH, duri nya geserrrrrr, Giooooo!”

Rengekan kencang dari Syakilla, mengundang ledakan tawa dari sang suami yang semakin membuat Syakilla kesal.

“Gioーhks, kayaknya gue mau meninggal dehーini sakit banget…”

“Ssstt, apaan sih, hahahaa, nggak usah lebay, itu duri ikan lele, kecil, nggak bakal bikin kamu meninggal, baru kalo kamu nelen duri hiu, itu kayaknya langsung meninggal.”

“Lo mah! Ihhhh!”

Pemuda dengan jaket kulit hitam serta kacamata berwarna sama berjalan seraya memainkan kunci motornya pada lobi gedung yang cukup besar itu. Langkahnya ia bawa menuju lift yang sedikit lagi tertutup.

Ia menunduk sekilas saat dirinya berhasil mencegah pintu lift yang tertutup pada orang orang di dalamnyaーdua orang wanita yang terlihat berumur 30-an, serta petugas kebersihan.

“Eh, kamu tau Mbak Alin?” “Karyawan gedung lantai 5 itu nggak sih?” “Iya, sekretaris nya mas mas ganteng itu loh.”

Wanita yang memakai blus biru itu terkekeh pelan, “Mas Gio, mas ganteng mas ganteng, sok deket kamu!”

Gibran, dirinya yang sedari tadi menunduk, perlahan menajamkan telinganya bermaksud untuk ikut mendengarkan percakapan setelah ia mendengar nama sahabat nya disebut.

“Emang kenapa sama Mbak Alin itu?”

“Kemarin aku ngeliat dia masangin dasi Mas Gio, mereka apa pacaran, ya?”

“Ah, masa iya? Mungkin aja Mbak Alin inisiatif bantu atasannya? Kamu jangan suudzon begitu.”

Lagi lagi wanita yang sedikit pendek dari kawannya itu berdecak pelan,

“Tapi aku sering banget ngeliat Mbak Alin sama Mas Gio itu kayak interaksi nya lebih dari atasan sama bawahan, serius.”

“Masa iya?” “Iya, tapi kalo dipikir-pikir mereka emang cocok sih.”

“Gedung lantai 5 itu yang penerbitan itu kan?”

“Iya, kamu masa nggak pernah tau gimana interaksinya Mbak Alin sama Mas Gio sih? Anak anak sering ngomongin mereka soalnya sering se-lift bareng.”

Gibran yang masih setia menguping pembicaraan kedua wanita itu perlahan mengeluarkan ponselnya.

“Kata Siska anak marketing, dia pernah waktu itu ngeliat mereka berdua masuk lift sambil gandengan tangan, ih kataku mah mereka beneran pacaran!”

“Ssstt, udah ah, lagian bukan urusan kita mereka pacaran atau nggak.”

Lift terbuka pada lantai 4, kedua wanita itu akhirnya keluar, menyisakan Gibran yang diam diam melirik kedua wanita itu hingga pintu lift kembali tertutup.

Ia berdecak pelan, “Tu kampret kalo beneran kelakuan nya kayak apa yang diomongin cewek cewek tadi padahal dia udah nikah, gua gorok kaya ayam kampung lu, Yo.”

Gibran berjalan dengan tergesa saat pintu lift kembali terbuka dan memperlihatkan keadaan lantai 5, dimana kantor sahabatnya itu berada.

Beberapa pasang mata yang kenal siapa Gibran, tersenyum kearah pemuda itu.

Langkahnya terhenti saat melihat Alinーsekretaris Gio yang tengah fokus pada komputernya.

Berdeham pelan, membuat gadis itu menoleh dan beranjak dari duduknya, lalu tersenyum kearah Gibran yang menatapnya datar.

“Mas Gibran, mau ketemu Pak Gio, ya?” “Hm.”

“Silahkan masuk, Masー” “Gue bisa sendiri.” Putusnya seraya mendorong pintu ruangan sahabatnya.

Berdecak pelan saat dirinya mendapati Gio yang tak terpengaruh terhadap kehadiran dirinya, memilih untuk terus fokus pada kerjaannya.

“Kenapa, Yo?”

“Oh, lo udah dateng?” Tanya Gio yang masih fokus pada komputernya.

“Ck, buru ah, lu mau ngomong apaan?!”

Gio lantas segera melepas kacamata bacanya dan beranjak dari duduknya, berjalan mendekat kearah Gibran yang sudah duduk di sofa ruangannya itu.

“Jadi gini, ada talent gue yangー”

“Lu pacaran sama si Alin Alin itu?” “Hah?”

Pertanyaan yang benar benar menjanggal hati Gibran akhirnya ia keluarkan, dirinya memposisikan tubuhnya dengan nyaman.

“Gua tadi pas kesini tuh, kebetulan bareng ama 2 cewek, kantor bawah lu tuh, terus mereka ngomongin lu bedua.”

“Lo berdua?” “Ya elu ama si Alin itu dah. Katanya lu pacaran ama dia. Ih, istighpar lu nyet, baru nikah lu udah main selingkuhan aje anjing.”

“Gue nggak selingkuh.”

“Lah tuh? Tapi orang orang bilang lu pacaran ama die.”

“Eh, gua kasi tau ye, si Alin tuh keliatan cewek gatel anying, masa gua pernah liat dia di diskotik mana dah tuh, deketnyaーanjing, mana ya? Gua lupa soalnya gua ikutan mabok.”

“Ya lagian siapa yang pacaran sama dia.” “Ya elu.”

“Gue nggak, lo juga, omongan orang di telen mentah mentah.”

Gibran berdecak pelan sembari menyandarkan punggungnya, “Tapi gua serius ya, lu awas aja jadi brengsek, inget lu udah punya istri, ege.”

“Gue tau.”

“Tar kalo si Syakilla tau Alin gatel sama lu, gimana? Bisa berabe.”

“Dia udah tau.”

Gibran yang hendak mengambil snack yang berada di atas meja seketika terhenti, “SUMPAH LU??”

“Shhh, berisik lo.” “Eh, gua serius, Syakilla tau cewek itu?”

“Iya, kemarin nggak sengaja ketemu di resto sushi.”

“Lu juga ngapain anjing???” “Gue ketemu sama talent baru. Udah ah, gue nyuruh lo kesini soalnyaー”

“Tar dulu anying! Terus-terus, si Syakilla gimana?? Dia pasti marah lah sama lu, lu juga, kaga usah banyak tingkah kata gua mah, lu tuhー”

“Lo mau kerjaan nggak? Kalo nggak mau, bakal gue oper ke orang lain nih kerjaan yang bakal ngasilin cuan banyak.”

Gibran yang tengah membolakan matanya, perlahan mengembangkan senyum termanis yang bisa ia lakukan.

“O-ohhh, lu nyuruh gua kesini soalnya mau ngasih job??? Ah, tau gitu lu langsung ngomong aja ege dari tadi, hehehehe.”

“Gue mau ngomong tapi lo putus terus.”

“Yaaa, gimana, gue kan kepo...”

“Hhh, Ok, gue jelasin ya, tentang kerjaannya, lo bisa tolak job ini klo nggak sesuai sama kemauan lo.”


“Hahahaha! Anjir perut gue!” Syakilla berdecak pelan seraya kembali memasukkan sesendok bubur ke dalam mulutnya.

“Eh, tapi emang kenapa sih? Kalian kan udah suami istri?”

“Nggak wajarlah! Gue sama Gio suami istri cuma status doang. Ck.”

Ada perasaan menyesal saat Syakilla memutuskan untuk bercerita mengenai kejadian tadi malam kepada Aqia yang justru, gadis itu tertawa terbahak bahak padahal dirinya masih merasakan malu yang amat sangat.

“Tapi untung lo gak langsung diterkam si Gio, ya.” “Anjing mulut lo.”

“Eh tapi gue serius Kil.” Aqia membenarkan posisi duduknya,

“Nih, kalo Gio bukan cowok yang bener, ngeliat lo pake handuk dan kalian cuma berdua di rumah ini, pasti dia langsung ngedeketin lo, terus nyobaーaaahhh! Anjir gue merinding ngebayangin.”

Syakilla melempar kerupuk buburnya, “Otak lo mesum juga, ya.”

Aqia mengangkat kedua bahunya, “Gue berbicara fakta.” Ucapnya seraya ia kembali melahap buburnya hingga habis.

“Ortu lo udah tau kalo lo pisah kamar sama Gio?”

“Nggak lah, apa kata mereka gue sama Gio pisah kamar?!”

“Iya sih, mereka pasti mikir kalian bakal cerai.”

Pergerakan Syakilla terhenti bersamaan Aqia yang beranjak dari duduknya, hendak mengambil segelas air mineral.

“Qiy.” “Hmm?” Aqia melirik Syakilla seraya meneguk segelas air.

“Menurut lo… Gue sama Gio bakal cerai nggak?”

Byur!

Aqia sontak menyemprotkan air yang mulai memasuki tenggorokan, “Kil, lo nanya begitu make bismillah dulu nggak sih?? Istighfar lo.”

Gadis itu buru buru meletakkan gelas kaca di atas meja pantry seraya berjalan mendekati Syakilla yang menunduk sembari memainkan sendok di atas bubur.

“Ya… Gimana, ya.” “Gimana apa??? Loーastaga… Umur pernikahan lo aja belum genep sebulan dan lo udah mikirin hal itu? Gila lo?”

Syakilla menghela napas, punggungnya ia sandarkan pada kursi makan dengan mata yang menatap mata tajam manajernya itu.

“Lo mau jadi janda muda? Hah?” “Ck, ya nggak mau.”

“Makanya, nggak usah mikirin hal aneh kayak gitu,” Aqia melembutkan tatapannya, “Kil, gue udah berulang kali sama lo kaloー”

“Pernikahan itu adalah hal yang sakral.” Putus Syakilla, “Gue tau, Aqia, tapiーhah…”

“Kenapa sih? Gio ada salah sama lo? Kayak, sikapnya dia gitu? Atauー”

Syakilla menggeleng, “Nggak, nggak ada yang salah sama dia, he's really a good person. Semuanya yang ada sama Gio tuh, hampir sempurna.”

“Terus? Kenapa lo malah keliatan ragu?”

Hening tercipta di antara kedua sahabat itu beberapa saat, jarum jam menjadi musik diamnya mereka.

“Gue…”

1 detik…

2 detik…

3 detik…

Syakilla menatap Aqia dengan tatapan sendu, “Gue takut kalau suatu saat bakal nyakitin Gio, Qiy. G-gueー”

“Dia baik banget sama gue, dia hampir sempurna, sedangkan gue? Apa yang dia dapet dari gue selain gue yang pembangkang? Gue yang moody, gue yang sikapnya berubah-ubah? Apa timbal balik yang gue kasih ke dia, Aqia? Nggak ada.”

Syakilla mengusap wajahnya perlahan, “Nggak ada hal baik yang gue kasih ke dia, Aqia…”

“Ada, ada hal baik yang lo kasih ke dia dan gue yakin, kalau Gio pasti bakal bahagia.”

“Apa?”

“Dengan lo nerima perjodohan ini dengan lapang dada, tanpa ada unsur paksaan apapun, gue yakin, Gio udah bahagia akan hal itu, Kil.”

Aqia menggenggam tangan Syakilla dengan penuh perasaan, “Kil, apapun yang lo kasih ke Gio, gue yakin kalau dia bakalan nerima, apapun itu. Meskipun lo orangnya moody, atau apa kek, gue yakin dia nerima itu.”

“He's love you so bad, Kil, gue bisa ngeliat itu di mata dia pas akad, pas dia nyium kening lo, gue yakin kalau dia sesayang itu sama lo, Syakilla. Dan gue juga yakin kalau dia pasti nerima apapun tentang lo.”

“Justru itu, justru itu gue takut kalau gue bakal nyakitin dia, Aqia.” Syakilla menatap Aqia dengan mata yang mulai memerah.

“Kalo gitu, sekarang giliran lo.”

“H-hah?”

“Love him as much as he loves you, can you?”

“Syakilla, akuー” Ucapannya terhenti bersamaan dengan gadis yang mengacuhkannya, melewati Gio yang baru saja menginjakkan kakinya pada lantai dua. Matanya terus menatap Syakilla yang perlahan menjauh-menuruni anak tangga rumahnya, menghela napas sejenak, Gio kembali membuka suara.

“Aku naro sushi di atas meja makan, barang kali kamu mau, ambil aja!” Tidak ada sahutan dari sang gadis, pemuda itu lagi lagi menghela napas, memijat pelan tengkuknya yang terasa berat sebelum memasuki kamar pribadinya.


Kedua sepasang suami istri itu hanyut dalam pikiran masing masing dengan suara piring yang beradu dengan sendok sebagai musiknya, berulang kali juga, Gio mencuri pandang terhadap Syakilla yang hanya terdiam, fokus dengan makanan yang gadis itu buat beberapa saat lalu-saat Gio memutuskan mandi selepas kerja tadi.

Mata almond Gio menangkap sekotak sushi yang sepertinya tidak disentuh sama sekali oleh gadis di hadapannya itu.

Gio berdehem pelan seraya kembali menatap Syakilla, “Kamu nggak suka sushi?” Yang ditanya akhirnya mendongak, menatap Gio yang tersenyum lembut kepadanya.

Lantas gadis itu segera kembali menundukーfokus dengan makanannya,

“Suka.”

Gio mengangkat sebelah alisnya, “Terus kenapa sushi yang aku bawa nggak kamu makan?”

Helaan napas kesal terdengar dari Syakilla, hingga membuat Gio yang merasa ada hawa aneh dalam diri gadis itu, menegakkan tubuhnya dengan tangan yang meletakkan sendok diatas piring dengan hati hati.

“Lo nggak liat gue lagi makan?” Syakilla menatap sinis Gio, sedangkan pemuda itu hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Terus kenapa nanya nanya mulu?”

Dahi Gio mengerut, “Syakilla, kamu kenapa?”

“Lo yang kenapa!” Gadis itu tiba tiba beranjak dari duduknya,

“Gue selesai.”

Lantas pergi meninggalkan Gio yang masih terduduk menatap kepergian Syakilla, netranya menatap piring yang masih berisikan setengah dari makanan yang di makan Syakilla.


Sudah sekitar 35 menit setelah Syakilla meninggalkan Gio di ruang makan dan pemuda itu memilih untuk membersihkan tempat itu, dan sejak saat itu pula, Syakilla belum juga keluar dari kamarnya.

Gio membasahi bibir bawahnya sekilas, menatap pintu putih yang tertutup rapat di hadapannya.

Perlahan, tangannya yang mengepal terangkat, mengetuk pelan pintu kamar Syakilla yang masih tertutup, sudah hampir 6 menit ia berdiri di depan pintu kamar Syakilla, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengetuk pelan pintu tersebut meskipun ada perasaan tidak enak pada batinnya, namun, terdiamnya Syakilla dan sinis nya gadis itu sejak tadi, membuat pikirannya dihantui dengan rasa penasaran.

Sebenarnya, apa yang terjadi dengan istrinya itu.

“Syakilla?”

tok tok tok!

“Syakilla kamu di dalam?”

Tidak ada sahutan.

Gio kembali mengetuk pintu itu, “Syakilla? Aku mau ngomong sama kamu, buka, ya?”

Lagi lagi, tidak ada sahutan dari dalam.

Rasa penasarannya akan sikap Syakilla, mendorong dirinya untuk beralih menatap knop pintu yang perlahan ia genggam, hinggaー

Ceklek!

“Nggak di kunci?” Tanya Gio pada diri sendiri dengan kedua alis yang naik.

Pemuda itu perlahan membuka pintu tersebut, hingga beberapa detik setelahnya, ia bisa melihat dengan jelas kamar rapi yang Syakilla tempati. Kakinya ia bawa berjalan mengitari ruangan tersebut, selama dirinya masuk ke dalam kamar Syakilla, ia tak pernah memperhatikan dengan seksama bagaimana rapih nya ruangan itu.

“Eh?” Gio menangkap bingkai foto yang terletak pada nakas disamping kasur, tangannya terulur untuk mengambil benda persegi itu, tersenyum bahagia sebab bingkai foto itu menghiasi gambar dua keluarga bahagia yang tersenyum disana.

Foto pernikahan Gio dan Syakilla.

“Bingkainya cantik, Syakilla punya taste yang bagus.”

Pemuda itu masih menatap lamat foto tersebut hingga suara pintu yang terbuka di belakangnya, membuat ia dengan cepat meletakkan bingkai tersebut dan memutar tubuhnya.

“Syakilla, akuー”

Keduanya terdiam dengan seribu bahasa, saling menatap dengan wajah yang sama sama terkejut, serta tubuh yang tak bisa digerakkan.

Bagaimana tidak? Kini dengan jelas, Gio melihat bagaimana Syakilla berdiri di depan pintu kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuh eloknya.

MaksudnyaーHANDUK!

Syakilla hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh polosnya dan sekarang, Gio dengan ekspresi kikuknya berada di hadapannya, tak bisa bergerak, bahkan untuk mengeluarkan suara pun sangat amat susah bagi keduanya.

Beberapa detik berlalu, Gio yang tersadar dengan apa yang terjadi, sontak segera membalikkan tubuhnya, membelakangi Syakilla yang masih terdiam kaku di depan pintu kamar mandi.

“A-aku tadi ngetuk pintu kamar kamu, t-tapi gak ada sahutan, m-makanya aku langsung masuk.”

Gio yang bingung harus bagaimana, beberapa kali ia menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, bermaksud untuk meninggalkan kamar Syakilla dengan segera namun jantungnya yang berpacu hebat serta berpikir jika dirinya balik badan, maka ia kembali disuguhkan tubuh Syakilla yang hanya terbalut handuk.

Maka dengan sisa kewarasannya, ia perlahan mundurーtanpa membalikkan tubuhnya dengan kepala yang menunduk.

“Syakilla, maaf..” Lirihnya seraya berjalan mundur dengan cepat dan menutup pintu kamar Syakilla dengan segera.

Napas tersengal, dengan tubuh yang bersandar pada pintu kamar Syakilla. Tangannya ia bawa untuk mengusak kasar wajahnya yang panik

“Gio, bego banget lo sialan.” Gumamnya seraya memaki dirinya sendiri dengan kembali menatap pintu kamar Syakilla yang tertutup.

Kedua matanya mengerjap beberapa kali, mencoba untuk menyesuaikan cahaya yang masuk pada indera penglihatannya. Suara adzan dari masjid yang dirasa tak jauh dari rumah baru nya itu membuat dirinya mau tak mau bangun dari alam mimpi.

Pergerakannya terhenti saat dirasa ada tangan yang melingkar pada pinggangnya, membuat Syakilla seketika menahan napas saat melihat ada Gio yang tengah terlelap di belakangnya, memeluk dirinya hingga punggungnya bisa merasakan detak jantung dari lelaki itu.

Gugup? Tentu saja, ini kali pertama ia tidur bersama dengan seseorang yang asing. Ingin berteriak pun ia tidak bisa, memukul beberapa kali jidatnya saat mengingat kembali apa yang ia lakukan tadi malam sebelum tidur.

Perlahan tapi pasti, ia singkirkan tangan yang melingkar manis di pinggangnya itu, hingga beberapa detik kemudian, ia benar benar terbebas dari lingkaran posesif Gio.

“Gi, bangun.” Syakilla menggoyangkan beberapa kali lengan pemuda yang masih terlelap.

“Gio, bangun, subuh.” “Hmm?” “Subuh, Gio, bangun ayo.” Syakilla bisa melihat keterkejutan dari sang lelaki saat matanya menatap dirinya, namun dengan cepat juga, Gio kembali merubah raut wajahnya.

Senyum manis terbit pada wajah bangun tidurnya, dengan mata sipitnya yang semakin mengecil.

“Kamu udah sholat?” Syakilla menggeleng.

“Gue juga baru bangun, lo nggak liat ini belek gue masih nempel di mata?” Gio tertawa pelan dengan suara khas bangun tidurnya.

“Jamaah, ya? Aku ambil wudhu dulu.”


08:30 AM

Gio baru saja masuk melewati gerbang rumahnya dengan keringat yang bercucuran menghiasi dahinya. Setelah subuh tadi, ia memutuskan untuk melakukan lari pagi keliling komplek, beda dengan Syakilla yang memilih untuk duduk di hadapan laptop, katanya ada beberapa hal yang perlu ia kerjakan mengenai penerbitan buku barunya.

Langkah kakinya yang membawa ia masuk ke dalam rumah, terhenti sejenak saat mencium aroma mentega yang cukup membuat perutnya lapar. Dengan buru buru, Gio berjalan melewati beberapa ruang hingga dirinya bisa melihat Syakilla tengah memunggungi dirinya dengan rambut yang ia kuncir satu.

“Masak apa?” Tanya Gio seraya mengambil sebotol air dingin di dalam kulkas.

“Eh? Udah dateng lo?” Syakilla mencuci kedua tangannya sebelum mengangkat piring berisikan beberapa roti bakar yang ia buat.

Ia meletakkan piring itu diatas meja makan, menatap Gio yang terduduk di kursi makan dengan sebotol air mineral di tangannya.

“Sorry, cuma roti bakar, t-tapi lo nggak perlu khawatir! Kata bokap gue, roti bakar buatan gue enak kok! Dibanding masakannya nyokap.”

Gio terkekeh pelan seraya meletakkan botol air mineral yang tinggal setengah di atas meja.

“Nggak enak juga nggak papa.” “Tapi ini enak! G-gue jamin enak.” Gio kembali terkekeh mendengar Syakilla yang tengah gugup di hadapannya.

“Duduk, Syakilla, kamu apa nggak capek berdiri terus, ngeliatin saya makan roti bakar kamu?”

Syakilla yang gelagapan otomatis segera duduk, berseberangan dengan Gio yang kini tengah mengangkat sepotong roti bakar buatannya.

“Aku makan, ya?” Alih alih merespon pertanyaan Gio, justru Syakilla berdoa mati matian supaya roti bakarnya seperti apa yang ia katakan tadiーenak, harga dirinya benar benar terluka jika roti bakar buatannya tidak sesuai ekspektasi lelaki di hadapannya itu.

Satu gigitan yang Gio lakukan membuat degup jantung Syakilla semakin berpacu cepat. Ini hanya sebuah roti bakar, dan hampir semua orang juga bisa membuatnya, tapi entah mengapa, hal ini justru membuat ia semakin gugup, jauh dalam lubuk hati nya, Syakilla benar benar khawatir mengecewakan suaminya itu.

“Gimana?”

“Hmm?” “R-roti bakar gue, gimana? E-enak kan?” Gio terus mengunyah sembari menatap Syakilla yang tengah menatapnya dengan gugup, sejujurnya, Gio ingin sekali tertawa melihat bagaimana raut wajah khawatir Syakilla hanya karena roti bakar buatannya.

Ugh, but she's cute tho

Gio mengangguk-angguk pelan, “Hmm..”

“Lo ham-hem-ham-hem mulu ah! Enak apa enggak sih?? Kalo nggak enak gue bikinin lagi!”

Tawa Gio pecah seketika saat mendengar suara protes dari Syakilla.

“Hahahah, enak kok.” “Yang bener!” “Bener, enak. Kamu tau apa yang bikin enak?”

“Karena yang buat gue? Cih, gue cukup tau sama modus-modus kayak gini!”

Gio terkekeh pelan seraya kembali mengambil sepotong roti dan melahapnya, “Bukan.”

“Kamu ngasih mentega di roti nya banyak banget. Maksudnya, full gitu, jadi enak. Beda nya sama ibuk, pasti ibuk bikin roti bakarnya, menteganya nggak banyak? Makanya rasanya jauh beda sama buatan kamu.”

“Dih, kok lo tau?” “Khas ibu-ibu kan begitu, semuanya di perhitungkan.” Kata Gio dengan tawa kecil sebagai penutup.

Syakilla berdecih pelan sebelum ikut menyantap roti bakar buatannya, “Tadi gue udah ada niatan buat masakin sarapan, tapi kulkas lo masih kosong, jadi, yaaa, karena adanya roti, ya gue buat roti bakar aja. Mumpung ada keju sama mentega juga.”

Gio meneguk sebotol air mineral di sampingnya dengan alis yang bertaut, “Oh iya, kemarin sebenernya pas mau nempatin rumah ini, aku mau stock beberapa keperluan dapur, tapi nggak sempet soalnya ada urusan di kantor.”

“Mau belanja?” “Belanja apwa?” Tanya Syakilla balik dengan mulut yang penuh roti. Gio yang melihat itu hanya tertawa kecil dengan tangan yang terulur, bermaksud untuk membersihkan sisa roti yang menempel pada ujung bibir Syakilla.

“Belanja bulanan, stock di kulkas kan kosong, terus juga kali aja kamu ada keperluan yang belum disiapin di rumah ini, jadi sekalian aja. Mumpung Minggu juga sih.”

Gadis itu terlihat berpikir sejenak sebelum kembali mengeluarkan suaranya, “Yang pergi siapa?”

Gio menyandarkan punggungnya, “Ya kita berdua.”

Mata Syakilla sontak membulat dan tubuhnya menegak seketika dengan kepala yang menggeleng.

“Jangan lah!” “Kenapa?”

“Lo lupa? Kita kan lagi backstreet, Gio! Kalo orang orang tau kita jalan bareng, apa kata netizen?? Mereka pasti mikir yang enggak-enggak! Mereka pasti mikir kita pacaran atau, apa kek??? Atau bisa jadi dengan begini mereka tau kalo kita udah nikah!! Gakkk! Gue nggak mau jalan berdua sama lo!”

Senyum yang tersungging pada wajah Gio perlahan memudar, digantikan dengan raut wajah yang tak terbaca, menatap Syakilla yang menatapnya dengan tajam.

Melihat bagaimana raut wajah pria dihadapannya yang berbeda, membuat Syakilla tersadar dari emosinya, ia menutup mulutnya yang sedikit terbuka seraya meletakkan sepotong roti yang masih ia gigit satu kali itu.

“G-gio, g-gue nggak bermaksud buatー”

“It's okay, aku paham, kok,” Pemuda itu beranjak dari duduknya. “Nanti biar aku yang belanja, kamu di rumah aja, masih ada revisian kan? Kamu selesai-in itu aja. Aku mau mandi dulu.”

Syakilla hanya terdiam melihat Gio yang perlahan meninggalkan ruang makan. Menatap punggung kokoh itu sampai hilang di balik dinding yang membatasi ruang dapur dan tangga lantai dua.

Ia memijat dahinya pelan sembari menggumamkan kata kata serapah, memaki dirinya sendiri dengan berbagai macam kata kasar.

“Bagus, Syakilla. Lo bikin anak orang sakit hati sama omongan gak jelas lo itu.”

“Look at youuu! Astaga lo cantik banget asli, nggak sia sia lo dandan dari subuh.” Aqia segera mengeluarkan ponselnya saat masuk ke dalam kamar dan mendapati Syakilla tengah duduk di antara para perias.

“Nggak usah lebaaay!” “Gue serius!” Gadis berambut gelombang itu menarik kursi kayu di samping Syakilla.

“Gio udah dateng?” yang ditanya menggeleng pelan, sedikit membuka mulutnya saat sang perias menambahi warna bibir sedikit tebalnya itu menggunakan lisptik berwarna peach.

“Tadi gue liat Bunda sama Ayah sih, tapi nggak tau lagi Gio.” Kepala yang tidak lagi mendongak, menoleh ke arah Aqia yang masih menatapnya takjub.

“Gue deg-degan please…” “Hahahaha! Gue liat lo dirias kayak gini aja ikut deg-degan. Emang akad nya jam berapa?” “Sekitar jam 8-an.”

Keduanya hening, hanya suara dari para perias dan juga tempat make-up yang saling bertubrukan.

“Kil.” “Hmm?”

“Be happy, ya? Temuin kebahagiaan abadi lo bareng-bareng sama Gio. even dia masih asing buat lo, tapi percaya sama gue, he such a good person. Gue berharap apa yang gue baca tentang dia, nggak meleset.” Tangannya digenggam dengan lembut oleh Aqia, dengan ibu jari yang mengusap lembut punggung tangan sang pengantin.

“Aqia… Jangan bikin gue memble deh…” “Hahahah! Gue serius, sayang. I'm happy for you. Ngeliat lo kayak gini bikin gue pengen nangis haru, asli. Perasaan baru kemarin lo nangis-nangis ke gue perkara di tinggal nikah sama Jean.”

“Sialaan! Kok lo masih inget sih!” “Hahahaha, hal itu nggak bisa gue lupa, please. Semoga dia dapet karma.”

“Parah banget. Jangan ah, lagian gue juga udah maafin dia kok, udah move on juga.” Mata Aqia memicing, sedikit menjauhkan tubuhnya.

“Emang seharusnya lo udah move on, lo mau nikah. Nggak beradab banget kalo lo mau nikah tapi masih belum move on.”

“Berasa film-film azab ya kalo gitu. Hahaha.” Percakapan kedua gadis itu terhenti saat mendengar ketukan pelan namun bisa didengar oleh beberapa orang di dalam kamar Syakilla tersebut.

Sampai ketika Syakilla mempersilahkan seseorang yang mengetuk pintu tadi, pintu terbuka, mendapati sosok yang benar benar membuat matanya membelalak kaget hingga tanpa sadar menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

“Hai calon pengantin.” “Gibran?!” Ya, Gibran Adiputra, pelukis idola nya dan sahabat dari calon suaminya.

“Hahaha, gua kaga sopan banget, yak? Langsung masuk begini.”

Syakilla menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, gue malah seneng banget lo dateng ke acara ini. Gue kira Gio nggak ngasih tau lo.”

“Parah banget kalo dia kagak ngasih tau gua anjir.” “Bener juga.”

Sang lelaki mengeluarkan ponselnya, “Mau gua kirim ke Gio.”

Cekrek!

“Lo bareng sama Gio, Gib?” yang ditanya mengangguk, memasukkan ponselnya kembali saat selesai mengetikkan sesuatu di atas sana.

“Iya, tadi malem baru nyampe.”

“Terus, dia dimana sekarang” “Udah di depan noh, ngobrol sama bokap nyokap lo, eh, ngobrol ama nyokap nya dia juga sih.”

Rasa gugup kembali menyelimuti hati Syakilla, tangannya kembali bertautan mencoba untuk menetralisir rasa gugup nya itu.

“Udah mau jam 8, bentar lagi lo jadi istri sah dari orang yang ada di depan sana, Kil.”


Kedua keluarga dan beberapa sanak saudara sudah berada di masjid yang berada di dekat hotel dreamiesーsesuai interupsi ibu Syakilla beberapa hari yang lalu.

Syakilla masih berada di halaman belakang masjid, suara dari beberapa orang di dalam yang terdengar membuat dirinya semakin dilanda rasa gugup. Genggaman pada tangannya pun tidak cukup untuk menetralisir rasa gugup yang membuncah.

“Tangan lo dingin banget “ “Gue gugup banget.” Tubuhnya ia miringkan, menghadap Aqia yang menatapnya sedikit khawatir.

“Keputusan gue bener kan, Qiy?” Aqia mengangguk mantap dengan tangan yang semakin mengeratkan genggamannya.

“Nikah itu ibadah, nikah adalah jalan bahagia lo menuju surga, sama orang yang tepat, yang bisa nuntun lo ke surga. Dan Gio adalah orang itu, Kil. Gue yakin Gio adalah orang yang tepat. Gio adalah jodoh lo yang tertulis di Lauhul Mahfudz, dia adalah orang yang selama ini lo cari.” Tatapannya yang lembut berhasil membuat Syakilla sedikit tenang.

Keduanya tersenyum, hingga beberapa saat kemudian, suara dari sang penghulu memasuki indera pengedaran orang orang yang ada di sana. Termasuk Syakilla dan Aqia.

“Akad nya mau diwakilkan, atau langsung dari Bapak?” “Langsung saya aja, Pak.”

Genggaman erat dari Syakilla membuat Aqia tersenyum pada gadis itu, “Kil, gue nggak akan ngelupain momen momen ini, di mana lo akan menjemput kebahagian abadi lo.”

“Nak Gio, siap?” “Siap, Pak.”

Suara sang penghulu kembali mengisi seluruh masjid, ucapan doa sebelum ijab kabul membuat semua orang disana mengaminkannya.

“Nak Gio, ijab ini bisa kamu ulang 3 kali kalau kamu salah. Tapi, semoga nggak ngulang ngulang, ya? Mantapkan hati kamu, jangan gugup, lihat, apa kamu nggak penasaran calon istri kamu di belakang sana? Saya aja ikutan senyum lihat gimana cantiknya istri kamu itu.”

Kekehan beberapa orang membuat suasana tegang menjadi sedikit mencair, Gio hanya tersenyum dengan balutan jas putih, ia kembali menatap penghulu.

“Saya mulai, ya?”

Pria paruh baya tersebut menarik tangan Gio dan tangan Wijayaーayah dari Syakilla, untuk berjabat tangan, tangan yang lainnya membuka beberapa berkas kedua mempelai tersebut.

“Baik, Pak, bisa di mulai.”

Wijaya menarik napasnya panjang sebelum kembali membuka mulutnya, “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Gionino Baskara Nugraha bin Nugraha Sucaksono dengan anak saya yang bernama Syakilla Meira Amanda dengan mas kawin berupa rumah dengan luas tanah sebesar 645m² beserta isinya, serta uang tunai sebesar 50 juta rupiah dibayar tunai.”

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Syakilla Meira Amanda binti Dedi Wijaya dengan maskawin yang tersebut, tunai.”

Satu tarikan napas dari Gio, menjadi puncak dimana dirinya berjanji dihadapan Tuhan, dimana dirinya berjanji dihadapan semua orang, bahwa dirinya, akan senantiasa menjaga, membahagiakan wanita yang kini tengah berjalan ke arahnya, duduk disamping dirinya dengan wajah yang luar biasa cantiknya itu, tersenyum manis dengan mata yang berkaca kaca, mencium punggung tangannya dengan lembut, mencoba untuk menyalurkan rasa bahagia yang tidak pernah ia rasakan seumur hidup, rasa yang tidak bisa dideskripsikan oleh kata kata.

Gio membawa dirinya untuk mengecup kening sang mempelai, menyalurkan rasa yang membuncah yang ia rasakan.

Keduanya kembali saling menatap, tersenyum bahagia dengan ibu jari sang lelaki yang mengusap kedua pipi Syakilla.

“Syakilla.” “Ya?”

“Aku mungkin bukan yang terbaik, but i promise, i'll love you with all my heart, until the end. I love you, Syakilla, nobody will change that. i promise.”

tes

Syakilla menatap Gio yang tengah sibuk dengan beberapa alat masak di depan kompor, mengunyah makanan yang beberapa sudah dihidangkan di meja makan.

“Mau sampe kapan ngeliatin saya?” ia hampir tersedak saat dengan tiba tibanya Gio membalikkan badan dengan teflon ditangannya, berjalan mendekati dirinya dengan piring putih yang ia genggam di tangan kanannya.

“Siapa yang ngeliatin lo? Cih.” Sang pemuda terkekeh pelan seraya menuangkan tumis udang yang baru saja matang diatas piring yang ia bawa tadi.

“Udah ganti lagi.” “Apanya?”

“Sapaan kamu ke saya,” Gio kembali berjalan menuju komporーlebih tepatnya wastafel, mencuci teflon yang kotor. “Perasaan tadi pagi kamu masih manggil saya make sapaan aku-kamu, kenapa sekarang udah beda lagi?”

Kunyahannya terhenti kala mendengar perkataan dari lelaki yang masih sibuk mencuci teflon, Syakilla berdeham kecil seraya menegakkan tubuhnya.

“Kenapa? Nggak terima?” Sinis gadis itu pura pura, ia bisa melihat Gio menggeleng kecil sebelum membalikkan badannya dan melepas apron yang melekat pada tubuh bidangnya.

“Nggak, kata siapa saya nggak terima?” Elak Gio sembari menyisir rambutnya ke belakang dengan kaki yang ia bawa mendekati Syakilla di meja makan.

“Saya cuma seneng aja pas kamu manggil saya make sapaan aku-kamu,” ia duduk di hadapany Syakilla. “Tapi terserah kamu, kalau kamu nyamannya make gue-lo, nggak papa, saya nggak berhak buat ngatur kamu perkara sapaan kayak gini.”

Gio menatap Syakilla dengan tangan sebagai tompangan dagunya, “Makan sekarang? Keburu makananya dingin.”

Syakilla berdeham kecil sebelum membalik piring putih yang sudah disiapkan dengan rapih oleh lelaki dihadapannya itu.

“Gimana? Enak?” Syakilla mengangguk dengan mulut yang penuh dengan makanan, “Lo jago masak juga, ya.”

“Bukan jago, sekedar bisa masak aja.” Lagi lagi Syakilla mengangguk menyetujui.

“Kenapa enggak jadi chef aja? Masakan lo jauh lebih baik dibanding masakan gue.” “Saya nggak minat dibidang itu.” “Bener juga,” gadis dengan kaos pendek berwarna coklat itu meletakkan sendoknya sebelum mengambil segelas air putih yang sudah di sediakan.

“Btw,” “Lo belom jelasin ke gue.”

Gio yang tengah menyantap makannya, menatap Syakilla yang mulai menatapnya serius.

“Jelasin apa?” “Kenapa lo ngilang selama ini?”

Kedua alis Gio seketika bertaut, “Berita tadi pagi belum cukup buat kamu?” Syakilla menggeleng.

“Cukup sih sebenernya, cumaー” “ーEmang harus selama itu? Dan emang sampe harus bikin lo enggak ada kabar gitu?”

Gio meletakkan sendok garpunya, menyandarkan punggungnya pada kursi makan.

“Saya lupa.” “Lupa?” Syakilla tertawa sarkas, “Ngabarin orang tua lo juga sampe lupa?”

“Kasus ini jauh lebih rumit dari yang saya kira, Syakilla.”

Gio menghela napas, “Buat ngungkapin kasus kasus yang udah dilakuin sama orang itu, beneran susah, saya bahkan sampe nggak tidur beberapa hari buat mecahin kasus kasus nya.”

Ya, Syakilla setuju dimana Gio mengungkapkan bahwa dirinya tidak tidur selama beberapa hariーterlihat bagaimana kusutnya wajah Gio saat pertama kalinya ia bertemu Gio setelah seminggu lebih tidak bertemu.

“Kita nggak ada surat perintah buat kasus nya Rendra, beberapa kali kita nyelidikin dia dengan ilegal, temen saya udah beberapa kali juga ngajuin kasus ini ke atasan tapi nggak ada tanggepan.”

“Sampai akhirnya, tiga hari setelahnya, Dimas dateng ke saya, dan bilang kalau surat perintah udah turun, dan Dimas jadi pemimpin buat kasus ini.” Gio memajukan tubuhnya, menautkan jari jemarinya diatas meja.

“Disitu saya dan beberapa rekannya Dimas bisa leluasa buat nyelidikin Rendra, lebih leluasa.”

“Sampe nggak kerasa kalau udah lima hari saya nggak ngabarin kamu, jenguk bunda, bahkan kantor saya enggak saya urusin.”

Syakilla mendengarkan Gio dengan seksama.

“Seharusnya lo jangan sampe lupa buat ngabarin ortu lo, mereka khawatir.” Gio mengangguk setuju.

“Tapi,” “Gue juga nggak bisa nyalahin lo, karena sampai kapanpun, kalau bukan gegara niat lo buat bantu gue, mungkin saat ini orang brengsek itu masih leha leha dirumahnya dan bisa jadi dia bales dendam sama apa yang udah gue lakuin ke dia terakhir kali.

Gio menatap Syakilla dengan tatapan sendu, lalu, segaris senyum mulai tampak pada wajah pemuda yang saat ini jauh lebih bersih dan cerah dibanding kemarin.

“Sekarang juga kamu nggak perlu khawatir, karena mulai sekarang, nggak akan ada yang ganggu kamu lagi.” Kini Syakilla yang tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.

Kedua pemuda pemudi itu saling tatap diantara meja makan. Sampai beberapa saat kemudian, ponsel Gio berdering, membuat sang empu menoleh ke arah nakas dan berajak dari duduknya.

“Saya angkat telepon dulu.”

Pemuda itu berjalan meninggalkan Syakilla yang mulai membereskan meja makan. Diraihnya ponsel yang tergeletak diatas nakas ruang tengah, mengernyit pelan saat melihat nomor asing diponselnya yang masih berdering sebelum mengangkatnya.

“Halo?”

“Ini gue.” Gio terdiam sejenak saat suara diseberang sana terdengar.


“Udah selesai teleponnya?” Gio mengangguk seraya berjalan mendekati Syakilla yang terduduk diatas kursi makan.

“Lo kapan ke Indramayu?” “Mau ngapain?” “Jenguk Bunda lah, lo udah hilang kontak seminggu lebih kalo lo lupa.”

Gio terdiam sejenak, “Bunda udah pulang ke Bogor.”

“Hah? Kapan?” “2 hari yang lalu.” “Lo tau dari siapa?”

“Papa, tadi udah telepon kok.”

Syakilla membentuk bibirnya dengan pelafalan 'o' tanpa suara, “Terus, lo enggak ke Bogor gitu?”

“Minggu depan, tapi ke Semarang,” “Sama kamu.”

“Lah? Sama gue?”

“Iya,” pemuda dengan setelah kaos putih serta celana pendek selutut itu bergerak mendekati dispenser, mengisi gelas bening yang ia ambil beberapa saat lalu.

“Bunda minta kamu ikut.” “Ih, gue ada acara kalo minggu depan.”

“Harus mau, Syakilla.” “Kok lo maksa?!” Gio mengedikkan bahunya, berjalan mendekati Syakilla dengan segelas air mineral yang ia genggam ditangan kirinya.

“Minggu depan kita akad nikah, mau nggak mau kamu harus luangin waktu buat itu.”

Kedua cucu anak adam itu hanya terdiam saling memandang, yang satu hanya menundukkan kepalanya dan yang satu menatap sang empu dengan raut wajah yang tak bisa diartikan.

“Gak ada yang mau dijelasin?” tanya Gio saat dirasa sudah cukup lama dirinya dan juga Syakila terdiam setelah kepergian Marcello beberapa menit yang lalu.

“Bukannya kamu yang harusnya jelasin sesuatu ke aku?” Kedua alis Gio seketika terangkat saat mendengar Syakilla mengganti kata sapaannya.

“Kenapa saya?” “Kamu ngilang seminggu lebih, kalau kamu lupa.” Wajah sang gadis mendongak, menatap pemuda yang kini tengah menegakkan tubuhnya.

“Syakillaー” “Bunda nyariin, kamuー” Syakilla mengusap wajahnya gusar, sebelum kembali menatap Gio yang menautkan kedua alisnya, “seenggaknya kalo kamu enggak mau ngabarin aku, kabarin bunda. Bunda lagi sakit loh, dan bisa bisanya anak kandungnya sendiri enggak ngabarin atau bahkan jenguk bundanya.”

“Syakilla, sayaー” Gio menghela napas, memilih untuk beranjak dari duduknya dan pindah posisi, mencari tempat terdekat dengan gadis yang kini menatapnya kesal.

“Maaf, kalau saya seolah ngilang gitu aja dari kamuー” “Bukan seolah, tapi emang bener kamu ngilang gitu aja. Lebih parahnya lagi kamu ngilang juga dari keluarga kamu.” Sarkas Syakilla saat Gio sudah duduk tepat disamping kirinya.

Ia bisa melihat tatapan letih dari Gio, bertanya tanya dalam diri, sebenarnya, apa yang tengah dilakukan calon suaminya itu seminggu terakhir ini? Hingga membuat wajah yang terakhir kali ia lihat jauh berbeda dengan Gio yang sekarang berada di hadapannya. Terlihat lebih tua dengan kumis tipis serta lingkaran hitam yang menghiasi matanya.

“Sebenernya apa sih yang kamu lakuin, hah?”

“Syakilla,” pemuda itu menggeser tubuhnya, “Seperti yang sudah saya janjikan ke kamu, kalau saya akan kasih hukuman orang yang bikin kamu celaka seminggu yang lalu,” napasnya tercekat beberapa saat ketika Gio mengatakan hal tersebut dengan tangan yang mengusap pelan punggung tangannya yang ia letakkan pada bantal yang berada diatas kedua pahanya.

“Besok, pukul 8 pagi, tolong lihat siaran berita di Tv, saya ada hadiah buat kamu.” Ucap Gio seraya beranjak dari duduknya, menatap Syakilla dengan lembut serta senyum yang mengembang bersamaan dirinya yang mulai berjalan meninggalkan sang gadis yang masih mencerna setiap kata yang keluar dari bibir pemuda tersebut.

“Oh iya,” Lamunan Syakilla buyar saat ia kembali mendengar interupsi dari Gio yang kembali berjalan mendekati dirinya yang masih terduduk diatas sofa.

Pemuda itu menatap gadis dengan kedua tangan yang masuk kedalam saku celana kainnya, tersenyum tipis, dengan lesung pipi yang terlihat samar, namun Syakilla bisa melihatnya dengan jelas.

“Saya lupa mau ngomong ini,” tubuh lelaki itu sedikit membungkuk, hingga wajahnya kini sejajar dengan wajah sang gadis.

“Saya suka panggilan baru kamu ke saya.” “H-hah?”

“Aku-kamu,” “Saya suka. Terus manggil saya make aku-kamu, ya? Gue-lo cuma buat temen kan? Sedangkan saya, calon suami kamu, sudah sepatutnya kamu manggil saya make aku-kamu.” Puncak kepalanya di usap sekilas oleh Gio sebelum pemuda itu menegakkan kembali tubuhnya, bergerak meninggalkan Syakilla yang lagi lagi terdiam di tempatnya.

Tangannya bergerak menyentuh kedua pipinya yang terasa hangat, “Sinting gue... Gue udah sinting...”

“KAKAK BENERAN KESINI???” Syakilla mau tidak mau menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya saat ia membuka pintu dan mendapati Marcello sudah berdiri disana dengan pakaian casual-nya.

Tangan sang pemuda direntangkan, “Welcome hug?” sang gadis mencebikkan bibirnya sebelum memeluk yang lebih tua dengan erat. Keduanya saling berpelukan hingga sesak mulai dirasakan.

“Masuk yuk! Ih asli, kakak kenapa tambah tinggi sih??” “Kamu yang gak numbuh, Mei.” “Enak aja!”

Marcello mengusap pelan puncak kepala Syakilla sebelum menutup pintu apartemen milik gadis itu, bergerak menuju sofa ruang tamu dengan tangan yang dimasukkan kedalam saku celana.

“Kak? Mau minum apa?” Kepalanya menoleh ke sumber suara, dimana Syakilla sibuk memperhatikan isi kulkas.

“Apa aja, Mei.”

“Hmm,” “Air putih aja, ya?” Gadis itu mengangkat sebuah botol air mineral, Persediaan minuman kaleng aku udah abis ternyata.”

“You shouldn't offering me a drink then.” Marcello berjalan mendekati Syakila yang baru saja menutup kulkas, berjalan berlawanan, menatap Marcello yang jauh lebih tampan dibanding ketika terakhir kali ia temui.

“Aku cuma basa basi.” Pundaknya dirangkul saat dirinya sejajar dengan Marcello, lalu menuntun gadis itu hingga duduk diatas sofa.

“Mau pesen makanan nggak?” “Boleh,” Syakilla meneguk segelas air dingin, “Kebetulan aku juga nggak ada persediaan jajanan, hehehehe.”

“Dasar.” sang pemuda mulai mengutak-atik ponselnya, hingga beberapa saat kemudian benda pipih itu ia letakkan pada meja ruang tamu dan menyandarkan punggungnya dengan tangan bersedekap dada.

“So, what's new?”

Keduanya larut dalam percakapan nostalgia dan beberapa hal baru yang mereka lewati selama tidak pernah berjumpa, gelak tawa, bahkan tangis haru menjadi suasana di antara anak cucu adam itu.

Marcello terus menerus memperhatikan bagaimana gadis di hadapannya itu bercerita mengenai dirinya beberapa bulan terakhir, bahkan sampai dirinya tidak sadar bahwa ia ikut tersenyum kala gadis itu menyampaikan beberapa candaan yang sebenarnya tidak begitu lucu.

Matanya terus menerus menatap Syakilla, hingga Syakilla tanpa sengaja ikut menatap Marcello yang jujur saja, itu membuatnya gugup.

“Cantik.”

“H-hah?”

“Kamuー”

Tok tok tok!

Marcello memejamkan sejenak, lantas kembali menatap Syakilla yang masih terdiam dengan mata yang membelalak.

Ia tersenyum, “Makanan-nya dateng, aku ambilin dulu, ya?”

“Eh?! Nggak bisa gituuu!” Syakilla ikut beranjak dari duduknya, “Kan aku tuan rumah, jadi aku yang harus ngeladenin tamu!”

“Ah, gituuu?” “Iyaaa! Udah kakak duduk disini aja biar aku yang ambil.”

“Berdua aja berdua.” Tangan kirinya di tarik oleh Marcello, membuat Syakilla menghentikan langkahnya.

“Cih, Kakak takut aku tinggal ke pintu doang?” Marcello tersenyum seraya merangkul pundak Syakilla,

“Bisa bisanya kamu bilang kayak gitu.” ia menyentuh kecil ujung hidung sang gadis.

“Yaudah, kalau gitu, aku mau ambil dompet dulu, kamu buka pintunya.”

“Cih, ini di bayarin kakak makanannya?” Marcello tersenyum manis, “Jangan protes.

Syakilla tertawa pelan, lantas segera mendekati pintu apartmen-nya.

Ceklek!

“Maaf, Pak, lama, jadi totalnya berapー” Syakilla seketika terdiam, menatap seseorang yang sudah tersenyum tipis yang tergambar samar pada wajah yang sedikit berkumis itu. Matanya menyorot kelelahan dengan ditandai kantung mata yang menghitam.

“Hai? Syakilla.” Suaranya bahkan sangat serak sejak terakhir kali Syakilla ingat.

“Mei, totalnya berapa?”

Sorot mata sendu sedikit melengkung itu perlahan memudar, digantikan dengan sorot mata datar saat dirinya mendapati bahwa yang ia lihat bukanlah hanya seorang Syakilla saja, melainkan sosok pemuda yang tak pernah ia tau.

“Oh? Temen kamu, Mei?”

“Mei?” Gio menirukan bagaimana Marcello memanggil Syakilla yang kini hanya menghela napas.

“Y-ya? Maaf, Mei, dia siapa?”

Syakilla lagi lagi menghela napas, memejamkan matanya sebelum kembali berucap.

“Ok, jadi Kak Marcello, dia Gio, anak dariー” “Calon suaminya Syakilla.” Potong Gio dengan cepat seraya mengulurkan tangannya tepat di hadapan Marcello yang terkejut.

Kedua alisnya naik, “Jadi, dengan siapa saya berkenalan? Dan kenapa kamu bisa ada di apartemen calon istri saya? Hm?”