Too good : after wedding | narasi (iv)
Gio keluar dari kamar bersamaan aroma masakan yang terhirup, membuat dirinya mengerutkan dahinya pelan sembari melirik kamar Syakilla yang sedikit terbuka.
“Syakilla?”
Tidak ada orang, hanya sebuah kasur yang sudah tertata rapi, dan beberapa barang disana. Gio yang penasaran, segera turun, dan benar saja, dirinya mendapati Syakilla tengah sibuk dengan berbagai alat masak di dapur.
“Masak apa?” Tanya Gio yang berhasil mengejutkan Syakilla, gadis itu segera membalikkan badan dan menatap Gio yang masih memakai kaos putih serta celana pendek.
Ini hal baru bagi Syakilla, mengingat selama tinggal bersama, Syakilla hanya sekali melihat Gio seperti ini.
“Eh, i-ikan.” Jawab Syakilla seraya melanjutkan aktivitasnya, berusaha untuk meminimalisir degup jantung yang masih berdetak cepat.
Terdengar suara kursi yang di seret ke belakang, “Kamu abis dari pasar?” Syakilla menggeleng.
“Kemarin Aqia kesini sambil bawa ikan, dari ibu nya.” Syakilla meletakkan sepanci sayur ikan yang sudah matang, melirik sekilas pada Gio yang menatapnya.
“U-udah mandi belom? Mandi dulu baru sarapan.” “Udah kok, abis subuh tadi.”
Canggung mendera keduanya, memaksa masuk untuk ikut ke sekeliling mereka.
“Y-yaudah, lo makan dulu aja, gue mau mandi bentar.” “Aku tunggu.”
Syakilla menggelengkan kepala dengan kedua tangan yang melambai di depan, memberi kode bahwa Gio tidak perlu menunggunya.
“Nggak usah, ntar lo telat masuk kantor.”
“It's still 6 AM, Syakilla, don't worry.” Gio terkekeh pada kalimat terakhirnya, mendengar hal itu, Syakilla meringis pelan sebelum membalikkan badan dan meninggalkan Gio yang masih menatapnya dari belakang.
Sekitar 20 menit setelahnya, Syakilla selesai dengan rutinitas mandi, dan kini, dirinya kembali duduk di atas kursi makan, berhadapan dengan pemuda yang tengah menyendokkan sesuap nasi diiringi ikan yang ada diatasnya.
Menggigit pelan bibir bawahnya, Syakilla berulang kali melirik pada Gio yang terlihat menikmati masakannya.
“E-nak?” “Hm?”
Gio menatap Syakilla dengan mulut penuh makanan,
“Enak nggak? M-masakan gue.” Seulas senyum mengembang bersamaan kedua lesung Gio yang terlihat pada pipi Gio yang mengembang sebab makanan.
“Enak. Kamu make santan kental, aku suka.”
“Y-ya, soalnya kalo nggak make santen kental kurang sedep.” Helaan napas lega ia hembuskan sembari melahap makanan yang sedari tadi ia biarkan.
“Kamu pake santen instan?” Syakilla menggeleng seraya menutup mulutnya.
“Gue nggwak sukha makhe santen intsan. Uhuk!”
Gio segera memberikan air putih pada Syakilla yang tersedak, terkekeh pelan pada gadis di hadapannya.
“Maaf,” “Santaian, elah.”
Gio meletakkan gelas yang tandas hingga setengah.
Keduanya kembali terdiam, memilih untuk fokus pada makanan masing masingーatau diam diam sedang menyusun dialog untuk pembahasan kemarin sore?
Karena sekarang, Syakilla tengah mengepalkan tangan kirinya yang berada di atas paha, berusaha untuk membuang rasa gugup serta gengsi nya untuk membicarakan perihal ucapan yang tak seharusnya ia lontarkan pada Gio kemarin sore.
“Gi.” “Ya?”
“Sorry…” Berbagai kalimat yang ia susun sedari malam, terkunci seketika, hanya ucapan maaf yang membuat Gio mengerutkan dahinya.
“For?” “Kemarin sore gue keterlaluan sama lo. Nggak seharusnya gue ngomong begitu ke lo.”
Gio meletakkan sendoknya diatas piring, “Aku pikir kamu nggak mau bahas ini lagi.”
“Ya… Itu kemarin, sekarang gue pengen bahas ini.”
“Well, i told you before kalau aku udah ngerti seberapa takut kamu kalo buat go public.” Gio mengangkat kedua bahunya sekilas, “And i think that clears.
“M-maksudnya?” Ada rasa panik yang tiba tiba menjalar pada dirinya.
“Yaa, intinya nggak perlu di perdebat lagi, dan aku akan berusaha jaga sikap when we are in public.”
Syakilla menatap Gio yang sedari tadi berusaha memutus kontak mata dengan dirinya, pemuda itu mudah dipahami meski hanya sebatas gerak gerik saja.
Dan Syakilla, paham akan hal itu, “Gio. You can mad at me if i too much.”
“But you didn't.” “You're a bad liar.” Syakilla terkekeh pelan di akhir kalimat, membuat Gio akhirnya menatap dirinya.
“Lo sadar nggak sih, kalo lo tuh terlalu baik buat gue. Lo terlalu sabar buat ngadepin gue yang keras kepala.” Syakilla menarik napasnya pelan sebelum menghembuskan nya keluar.
“You're tired, aren't you?”
Keduanya saling menatap, menyelami netra masing masing, mencoba untuk menuangkan seluruh keluh kesah lewat tatapan.
“Why don't you stop, Gio.”
Saling menatap, bahkan degup jantung yang berdetak tak karuan dari keduanya, hampir terdengar pada masing-masing indera pendengaran keduanya.
“Whyーdon'tーyouーstop?”
“Cause i love you. What other reason should i give you? Nggak ada, Syakilla. I love you, that's why i won't stop to understanding you, and i don't wanna stop toー hahh, at least aku berusaha bikin kamu nyaman ada di deket aku, thats it.”
“Dan gue nanya, lo nggak capek? Lo nggak capek terus terus an nyamain langkah lo sama gue? Lo nggak capek gitu gitu terus?”
Terlihat Gio menahan napasnya seraya memejamkan matanya, sebelum dirinya kembali menatap Syakillaーistrinya itu.
Seulas senyum ia lukis pada wajah tampannya, “Nggak usah di terusin, sarapan kamu keburu nggak enak udah kamu anggurin dari tadi.”
Syakilla berdecak pelan sebelum melingkarkan kedua tangannya di depan dada.
“Lo tuh ya, ck, punya kapasitas sabar berapa giga sih???”
Gio tertawa pelan sebelum mencondongkan tubuhnya, berniat untuk menyuapkan sepotong daging ikan yang telah ia sisihkan durinya kepada Syakilla.
“Banyak, apalagi buat kamu.”
“Idih, najis.” “Hahahaha.”
Gadis dengan rambut yang ia kuncir asal itu menatap Gio dengan mata yang memicing seraya kembali berkutat dengan makanan yang ada di depannya.
“Btw tentang si Aksara itu,” Syakilla mulai membuka topik baru.
“Awalnya gue nggak make design buatannya, malah make punya Abelia, mereka tuh, kayak musuh bebuyutan gitu loh kalo di kantor, rivalaaan.” Gio mendengarkan dengan seksama sembari menghabiskan makanannya.
“Eh si Aksara sama Abel malah berantem gitu, katanya siiih, gue juga nggak tau pasti soalnya jarang ke kantor. Terus pas malemnya, hari h sebelum cover debut, gue bilang lah ke tim kalo mending gue bikin dua versi aja, ini ide nya Aqia sih, jadi nggak ada iri-irian gitu looh, paham nggak sih loo.”
Gio terkekeh pelan sembari menganggukkan kepalanya pelan, “Terus?”
“Yaudah, akhirnya mereka setuju, terus akhirnya yaudah deeh, buat buku gue, ada dua versi cover. Terus endingnya si Aksara minta ketemu sama gue buat berterima kasih.” Syakilla berdecak pelan pada kalimat terakhirnya.
“Tapi lo malah nuduh gue selingkuh, cih.”
Yang disindir mengangkat kedua alisnya seraya berhenti pada kegiatannya, “Aku nggak ada nuduh kamu selingkuh, Syakilla.”
“Tapi lo ngambek. Make nyamperin segala lagi, lo apa nggak malu?” “Malu sih.” “Kan.”
Keduanya terkekeh dengan netra yang tak lepas untuk menatap. Perlahan, senyum keduanya memudar, namun tidak dengan tatapan yang berubah menjadi tatapan sendu dari Syakilla.
“Tapi, Gi.” “Hmm?”
“Still,” “I'm sorry.”
Gio perlahan kembali mengulas senyum manisnya, mengulurkan tangan kanannya pada milik sang gadis yang berada di atas meja, mengusap pelan punggung tangan kecil Syakilla.
“And me too, aku terlalu berlebihan buat bertindak, maaf.”
Entah hanya perasaan Syakilla, atau bagaimana, namun ia bisa melihat bagaimana pipi Gio merona dengan lesung pipi yang muncul, kantung mata yang kini terlihat berwarna peach itu membuat Syakilla gemas dibuatnya hingga dirinya tak sadar bahwa kini telah mencubit gemas pipi Gio hingga sang empu semakin kelewatan merah.
“Lo lucu banget siiii, gemes gue. Ah!” Ungkap Syakilla dengan tawa, yang dicubit hanya meringis pelan seraya mencoba untuk menutup rasa malunya.
Ya, setidaknya, Syakilla kini tau, bahwa Gio, suaminya itu, selain pendiam dan sabar, dirinya juga pemalu, sangat sangat pemalu dan seorang pembohong yang buruk.
“Btw gue tadi make parutan lo tuhー” “Pake aja, Syakilla, apa yang ada di rumah ini juga punya kamu, nggak perlu izin izin segala.”
Gio kembali menunduk kembali memakan makanan yang tinggal sedikit.
“Tapi masakan gue enak kan?” “Enak, enak banget.”
Syakilla dengan senyum bangga nya kembali menyuapkan daging ikan yang sudah berada diatas sendoknya entah dari kapan. Terlalu buru buru hingga ketika dirinya menelan sepotong daging yang telah ia kunyah, napasnya terhenti.
“Gi-gio.” “Hmm? Apa?” Yang dipanggil mendongak, menatap Syakilla yang kini terdiam di tempat dengan wajah yang tidak bisa Gio tebak.
“Syakilla? Kenapa?”
“Gi, kayaknya gueー” Sang gadis segera menegak segelas air putih yang tinggal setengah hingga habis, dan merebut segelas air putih milik Gio yang masih penuhーhingga habis juga.
“Syakilla? Kamu kenapa?” Gio yang merasa ada yang tidak beres dengan istrinya itu, segera beranjak dari duduknya dan berdiri di samping sang istri yang menopang tubuhnya dengan kedua tangan berada di pinggir meja.
Isakan pelan dari Syakilla semakin membuat Gio panik, “Syakilla, kamu kenapa sih?”
Perlahan, gadis itu mendongak, menatap Gio dengan sorot mata kesakitan bersamaan tangan kiri yang menekan tenggorokannya.
Isakan pelan dari sang gadis, membuat Gio perlahan mengusap pelipis Syakilla yang sedikit basah sebab keringat.
“Gioーhks.” “Kamu kenapa?”
“Giーsa-sakit…” “Nelen duriーhksーa-ahhh, sakittttt.” Syakilla merengek seraya menenggelamkan kepalanya pada dada Gio yang masih terdiam di tempat.
Hingga selang beberapa detik kemudian, sang suami malah terkekeh pelan seraya membalas pelukan dari sang istri.
“Kamu udah gede masih aja nelen duri.” “Enggak sengaja! Ih! Lo kira gueーAAAAAAH, duri nya geserrrrrr, Giooooo!”
Rengekan kencang dari Syakilla, mengundang ledakan tawa dari sang suami yang semakin membuat Syakilla kesal.
“Gioーhks, kayaknya gue mau meninggal dehーini sakit banget…”
“Ssstt, apaan sih, hahahaa, nggak usah lebay, itu duri ikan lele, kecil, nggak bakal bikin kamu meninggal, baru kalo kamu nelen duri hiu, itu kayaknya langsung meninggal.”
“Lo mah! Ihhhh!”