Too good : narasi xi
Syakilla menatap Gio yang tengah sibuk dengan beberapa alat masak di depan kompor, mengunyah makanan yang beberapa sudah dihidangkan di meja makan.
“Mau sampe kapan ngeliatin saya?” ia hampir tersedak saat dengan tiba tibanya Gio membalikkan badan dengan teflon ditangannya, berjalan mendekati dirinya dengan piring putih yang ia genggam di tangan kanannya.
“Siapa yang ngeliatin lo? Cih.” Sang pemuda terkekeh pelan seraya menuangkan tumis udang yang baru saja matang diatas piring yang ia bawa tadi.
“Udah ganti lagi.” “Apanya?”
“Sapaan kamu ke saya,” Gio kembali berjalan menuju komporーlebih tepatnya wastafel, mencuci teflon yang kotor. “Perasaan tadi pagi kamu masih manggil saya make sapaan aku-kamu, kenapa sekarang udah beda lagi?”
Kunyahannya terhenti kala mendengar perkataan dari lelaki yang masih sibuk mencuci teflon, Syakilla berdeham kecil seraya menegakkan tubuhnya.
“Kenapa? Nggak terima?” Sinis gadis itu pura pura, ia bisa melihat Gio menggeleng kecil sebelum membalikkan badannya dan melepas apron yang melekat pada tubuh bidangnya.
“Nggak, kata siapa saya nggak terima?” Elak Gio sembari menyisir rambutnya ke belakang dengan kaki yang ia bawa mendekati Syakilla di meja makan.
“Saya cuma seneng aja pas kamu manggil saya make sapaan aku-kamu,” ia duduk di hadapany Syakilla. “Tapi terserah kamu, kalau kamu nyamannya make gue-lo, nggak papa, saya nggak berhak buat ngatur kamu perkara sapaan kayak gini.”
Gio menatap Syakilla dengan tangan sebagai tompangan dagunya, “Makan sekarang? Keburu makananya dingin.”
Syakilla berdeham kecil sebelum membalik piring putih yang sudah disiapkan dengan rapih oleh lelaki dihadapannya itu.
“Gimana? Enak?” Syakilla mengangguk dengan mulut yang penuh dengan makanan, “Lo jago masak juga, ya.”
“Bukan jago, sekedar bisa masak aja.” Lagi lagi Syakilla mengangguk menyetujui.
“Kenapa enggak jadi chef aja? Masakan lo jauh lebih baik dibanding masakan gue.” “Saya nggak minat dibidang itu.” “Bener juga,” gadis dengan kaos pendek berwarna coklat itu meletakkan sendoknya sebelum mengambil segelas air putih yang sudah di sediakan.
“Btw,” “Lo belom jelasin ke gue.”
Gio yang tengah menyantap makannya, menatap Syakilla yang mulai menatapnya serius.
“Jelasin apa?” “Kenapa lo ngilang selama ini?”
Kedua alis Gio seketika bertaut, “Berita tadi pagi belum cukup buat kamu?” Syakilla menggeleng.
“Cukup sih sebenernya, cumaー” “ーEmang harus selama itu? Dan emang sampe harus bikin lo enggak ada kabar gitu?”
Gio meletakkan sendok garpunya, menyandarkan punggungnya pada kursi makan.
“Saya lupa.” “Lupa?” Syakilla tertawa sarkas, “Ngabarin orang tua lo juga sampe lupa?”
“Kasus ini jauh lebih rumit dari yang saya kira, Syakilla.”
Gio menghela napas, “Buat ngungkapin kasus kasus yang udah dilakuin sama orang itu, beneran susah, saya bahkan sampe nggak tidur beberapa hari buat mecahin kasus kasus nya.”
Ya, Syakilla setuju dimana Gio mengungkapkan bahwa dirinya tidak tidur selama beberapa hariーterlihat bagaimana kusutnya wajah Gio saat pertama kalinya ia bertemu Gio setelah seminggu lebih tidak bertemu.
“Kita nggak ada surat perintah buat kasus nya Rendra, beberapa kali kita nyelidikin dia dengan ilegal, temen saya udah beberapa kali juga ngajuin kasus ini ke atasan tapi nggak ada tanggepan.”
“Sampai akhirnya, tiga hari setelahnya, Dimas dateng ke saya, dan bilang kalau surat perintah udah turun, dan Dimas jadi pemimpin buat kasus ini.” Gio memajukan tubuhnya, menautkan jari jemarinya diatas meja.
“Disitu saya dan beberapa rekannya Dimas bisa leluasa buat nyelidikin Rendra, lebih leluasa.”
“Sampe nggak kerasa kalau udah lima hari saya nggak ngabarin kamu, jenguk bunda, bahkan kantor saya enggak saya urusin.”
Syakilla mendengarkan Gio dengan seksama.
“Seharusnya lo jangan sampe lupa buat ngabarin ortu lo, mereka khawatir.” Gio mengangguk setuju.
“Tapi,” “Gue juga nggak bisa nyalahin lo, karena sampai kapanpun, kalau bukan gegara niat lo buat bantu gue, mungkin saat ini orang brengsek itu masih leha leha dirumahnya dan bisa jadi dia bales dendam sama apa yang udah gue lakuin ke dia terakhir kali.
Gio menatap Syakilla dengan tatapan sendu, lalu, segaris senyum mulai tampak pada wajah pemuda yang saat ini jauh lebih bersih dan cerah dibanding kemarin.
“Sekarang juga kamu nggak perlu khawatir, karena mulai sekarang, nggak akan ada yang ganggu kamu lagi.” Kini Syakilla yang tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.
Kedua pemuda pemudi itu saling tatap diantara meja makan. Sampai beberapa saat kemudian, ponsel Gio berdering, membuat sang empu menoleh ke arah nakas dan berajak dari duduknya.
“Saya angkat telepon dulu.”
Pemuda itu berjalan meninggalkan Syakilla yang mulai membereskan meja makan. Diraihnya ponsel yang tergeletak diatas nakas ruang tengah, mengernyit pelan saat melihat nomor asing diponselnya yang masih berdering sebelum mengangkatnya.
“Halo?”
“Ini gue.” Gio terdiam sejenak saat suara diseberang sana terdengar.
“Udah selesai teleponnya?” Gio mengangguk seraya berjalan mendekati Syakilla yang terduduk diatas kursi makan.
“Lo kapan ke Indramayu?” “Mau ngapain?” “Jenguk Bunda lah, lo udah hilang kontak seminggu lebih kalo lo lupa.”
Gio terdiam sejenak, “Bunda udah pulang ke Bogor.”
“Hah? Kapan?” “2 hari yang lalu.” “Lo tau dari siapa?”
“Papa, tadi udah telepon kok.”
Syakilla membentuk bibirnya dengan pelafalan 'o' tanpa suara, “Terus, lo enggak ke Bogor gitu?”
“Minggu depan, tapi ke Semarang,” “Sama kamu.”
“Lah? Sama gue?”
“Iya,” pemuda dengan setelah kaos putih serta celana pendek selutut itu bergerak mendekati dispenser, mengisi gelas bening yang ia ambil beberapa saat lalu.
“Bunda minta kamu ikut.” “Ih, gue ada acara kalo minggu depan.”
“Harus mau, Syakilla.” “Kok lo maksa?!” Gio mengedikkan bahunya, berjalan mendekati Syakilla dengan segelas air mineral yang ia genggam ditangan kirinya.
“Minggu depan kita akad nikah, mau nggak mau kamu harus luangin waktu buat itu.”