Too good : after wedding | narasi (i)

Kedua matanya mengerjap beberapa kali, mencoba untuk menyesuaikan cahaya yang masuk pada indera penglihatannya. Suara adzan dari masjid yang dirasa tak jauh dari rumah baru nya itu membuat dirinya mau tak mau bangun dari alam mimpi.

Pergerakannya terhenti saat dirasa ada tangan yang melingkar pada pinggangnya, membuat Syakilla seketika menahan napas saat melihat ada Gio yang tengah terlelap di belakangnya, memeluk dirinya hingga punggungnya bisa merasakan detak jantung dari lelaki itu.

Gugup? Tentu saja, ini kali pertama ia tidur bersama dengan seseorang yang asing. Ingin berteriak pun ia tidak bisa, memukul beberapa kali jidatnya saat mengingat kembali apa yang ia lakukan tadi malam sebelum tidur.

Perlahan tapi pasti, ia singkirkan tangan yang melingkar manis di pinggangnya itu, hingga beberapa detik kemudian, ia benar benar terbebas dari lingkaran posesif Gio.

“Gi, bangun.” Syakilla menggoyangkan beberapa kali lengan pemuda yang masih terlelap.

“Gio, bangun, subuh.” “Hmm?” “Subuh, Gio, bangun ayo.” Syakilla bisa melihat keterkejutan dari sang lelaki saat matanya menatap dirinya, namun dengan cepat juga, Gio kembali merubah raut wajahnya.

Senyum manis terbit pada wajah bangun tidurnya, dengan mata sipitnya yang semakin mengecil.

“Kamu udah sholat?” Syakilla menggeleng.

“Gue juga baru bangun, lo nggak liat ini belek gue masih nempel di mata?” Gio tertawa pelan dengan suara khas bangun tidurnya.

“Jamaah, ya? Aku ambil wudhu dulu.”


08:30 AM

Gio baru saja masuk melewati gerbang rumahnya dengan keringat yang bercucuran menghiasi dahinya. Setelah subuh tadi, ia memutuskan untuk melakukan lari pagi keliling komplek, beda dengan Syakilla yang memilih untuk duduk di hadapan laptop, katanya ada beberapa hal yang perlu ia kerjakan mengenai penerbitan buku barunya.

Langkah kakinya yang membawa ia masuk ke dalam rumah, terhenti sejenak saat mencium aroma mentega yang cukup membuat perutnya lapar. Dengan buru buru, Gio berjalan melewati beberapa ruang hingga dirinya bisa melihat Syakilla tengah memunggungi dirinya dengan rambut yang ia kuncir satu.

“Masak apa?” Tanya Gio seraya mengambil sebotol air dingin di dalam kulkas.

“Eh? Udah dateng lo?” Syakilla mencuci kedua tangannya sebelum mengangkat piring berisikan beberapa roti bakar yang ia buat.

Ia meletakkan piring itu diatas meja makan, menatap Gio yang terduduk di kursi makan dengan sebotol air mineral di tangannya.

“Sorry, cuma roti bakar, t-tapi lo nggak perlu khawatir! Kata bokap gue, roti bakar buatan gue enak kok! Dibanding masakannya nyokap.”

Gio terkekeh pelan seraya meletakkan botol air mineral yang tinggal setengah di atas meja.

“Nggak enak juga nggak papa.” “Tapi ini enak! G-gue jamin enak.” Gio kembali terkekeh mendengar Syakilla yang tengah gugup di hadapannya.

“Duduk, Syakilla, kamu apa nggak capek berdiri terus, ngeliatin saya makan roti bakar kamu?”

Syakilla yang gelagapan otomatis segera duduk, berseberangan dengan Gio yang kini tengah mengangkat sepotong roti bakar buatannya.

“Aku makan, ya?” Alih alih merespon pertanyaan Gio, justru Syakilla berdoa mati matian supaya roti bakarnya seperti apa yang ia katakan tadiーenak, harga dirinya benar benar terluka jika roti bakar buatannya tidak sesuai ekspektasi lelaki di hadapannya itu.

Satu gigitan yang Gio lakukan membuat degup jantung Syakilla semakin berpacu cepat. Ini hanya sebuah roti bakar, dan hampir semua orang juga bisa membuatnya, tapi entah mengapa, hal ini justru membuat ia semakin gugup, jauh dalam lubuk hati nya, Syakilla benar benar khawatir mengecewakan suaminya itu.

“Gimana?”

“Hmm?” “R-roti bakar gue, gimana? E-enak kan?” Gio terus mengunyah sembari menatap Syakilla yang tengah menatapnya dengan gugup, sejujurnya, Gio ingin sekali tertawa melihat bagaimana raut wajah khawatir Syakilla hanya karena roti bakar buatannya.

Ugh, but she's cute tho

Gio mengangguk-angguk pelan, “Hmm..”

“Lo ham-hem-ham-hem mulu ah! Enak apa enggak sih?? Kalo nggak enak gue bikinin lagi!”

Tawa Gio pecah seketika saat mendengar suara protes dari Syakilla.

“Hahahah, enak kok.” “Yang bener!” “Bener, enak. Kamu tau apa yang bikin enak?”

“Karena yang buat gue? Cih, gue cukup tau sama modus-modus kayak gini!”

Gio terkekeh pelan seraya kembali mengambil sepotong roti dan melahapnya, “Bukan.”

“Kamu ngasih mentega di roti nya banyak banget. Maksudnya, full gitu, jadi enak. Beda nya sama ibuk, pasti ibuk bikin roti bakarnya, menteganya nggak banyak? Makanya rasanya jauh beda sama buatan kamu.”

“Dih, kok lo tau?” “Khas ibu-ibu kan begitu, semuanya di perhitungkan.” Kata Gio dengan tawa kecil sebagai penutup.

Syakilla berdecih pelan sebelum ikut menyantap roti bakar buatannya, “Tadi gue udah ada niatan buat masakin sarapan, tapi kulkas lo masih kosong, jadi, yaaa, karena adanya roti, ya gue buat roti bakar aja. Mumpung ada keju sama mentega juga.”

Gio meneguk sebotol air mineral di sampingnya dengan alis yang bertaut, “Oh iya, kemarin sebenernya pas mau nempatin rumah ini, aku mau stock beberapa keperluan dapur, tapi nggak sempet soalnya ada urusan di kantor.”

“Mau belanja?” “Belanja apwa?” Tanya Syakilla balik dengan mulut yang penuh roti. Gio yang melihat itu hanya tertawa kecil dengan tangan yang terulur, bermaksud untuk membersihkan sisa roti yang menempel pada ujung bibir Syakilla.

“Belanja bulanan, stock di kulkas kan kosong, terus juga kali aja kamu ada keperluan yang belum disiapin di rumah ini, jadi sekalian aja. Mumpung Minggu juga sih.”

Gadis itu terlihat berpikir sejenak sebelum kembali mengeluarkan suaranya, “Yang pergi siapa?”

Gio menyandarkan punggungnya, “Ya kita berdua.”

Mata Syakilla sontak membulat dan tubuhnya menegak seketika dengan kepala yang menggeleng.

“Jangan lah!” “Kenapa?”

“Lo lupa? Kita kan lagi backstreet, Gio! Kalo orang orang tau kita jalan bareng, apa kata netizen?? Mereka pasti mikir yang enggak-enggak! Mereka pasti mikir kita pacaran atau, apa kek??? Atau bisa jadi dengan begini mereka tau kalo kita udah nikah!! Gakkk! Gue nggak mau jalan berdua sama lo!”

Senyum yang tersungging pada wajah Gio perlahan memudar, digantikan dengan raut wajah yang tak terbaca, menatap Syakilla yang menatapnya dengan tajam.

Melihat bagaimana raut wajah pria dihadapannya yang berbeda, membuat Syakilla tersadar dari emosinya, ia menutup mulutnya yang sedikit terbuka seraya meletakkan sepotong roti yang masih ia gigit satu kali itu.

“G-gio, g-gue nggak bermaksud buatー”

“It's okay, aku paham, kok,” Pemuda itu beranjak dari duduknya. “Nanti biar aku yang belanja, kamu di rumah aja, masih ada revisian kan? Kamu selesai-in itu aja. Aku mau mandi dulu.”

Syakilla hanya terdiam melihat Gio yang perlahan meninggalkan ruang makan. Menatap punggung kokoh itu sampai hilang di balik dinding yang membatasi ruang dapur dan tangga lantai dua.

Ia memijat dahinya pelan sembari menggumamkan kata kata serapah, memaki dirinya sendiri dengan berbagai macam kata kasar.

“Bagus, Syakilla. Lo bikin anak orang sakit hati sama omongan gak jelas lo itu.”