Too good : Akad

“Look at youuu! Astaga lo cantik banget asli, nggak sia sia lo dandan dari subuh.” Aqia segera mengeluarkan ponselnya saat masuk ke dalam kamar dan mendapati Syakilla tengah duduk di antara para perias.

“Nggak usah lebaaay!” “Gue serius!” Gadis berambut gelombang itu menarik kursi kayu di samping Syakilla.

“Gio udah dateng?” yang ditanya menggeleng pelan, sedikit membuka mulutnya saat sang perias menambahi warna bibir sedikit tebalnya itu menggunakan lisptik berwarna peach.

“Tadi gue liat Bunda sama Ayah sih, tapi nggak tau lagi Gio.” Kepala yang tidak lagi mendongak, menoleh ke arah Aqia yang masih menatapnya takjub.

“Gue deg-degan please…” “Hahahaha! Gue liat lo dirias kayak gini aja ikut deg-degan. Emang akad nya jam berapa?” “Sekitar jam 8-an.”

Keduanya hening, hanya suara dari para perias dan juga tempat make-up yang saling bertubrukan.

“Kil.” “Hmm?”

“Be happy, ya? Temuin kebahagiaan abadi lo bareng-bareng sama Gio. even dia masih asing buat lo, tapi percaya sama gue, he such a good person. Gue berharap apa yang gue baca tentang dia, nggak meleset.” Tangannya digenggam dengan lembut oleh Aqia, dengan ibu jari yang mengusap lembut punggung tangan sang pengantin.

“Aqia… Jangan bikin gue memble deh…” “Hahahah! Gue serius, sayang. I'm happy for you. Ngeliat lo kayak gini bikin gue pengen nangis haru, asli. Perasaan baru kemarin lo nangis-nangis ke gue perkara di tinggal nikah sama Jean.”

“Sialaan! Kok lo masih inget sih!” “Hahahaha, hal itu nggak bisa gue lupa, please. Semoga dia dapet karma.”

“Parah banget. Jangan ah, lagian gue juga udah maafin dia kok, udah move on juga.” Mata Aqia memicing, sedikit menjauhkan tubuhnya.

“Emang seharusnya lo udah move on, lo mau nikah. Nggak beradab banget kalo lo mau nikah tapi masih belum move on.”

“Berasa film-film azab ya kalo gitu. Hahaha.” Percakapan kedua gadis itu terhenti saat mendengar ketukan pelan namun bisa didengar oleh beberapa orang di dalam kamar Syakilla tersebut.

Sampai ketika Syakilla mempersilahkan seseorang yang mengetuk pintu tadi, pintu terbuka, mendapati sosok yang benar benar membuat matanya membelalak kaget hingga tanpa sadar menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

“Hai calon pengantin.” “Gibran?!” Ya, Gibran Adiputra, pelukis idola nya dan sahabat dari calon suaminya.

“Hahaha, gua kaga sopan banget, yak? Langsung masuk begini.”

Syakilla menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, gue malah seneng banget lo dateng ke acara ini. Gue kira Gio nggak ngasih tau lo.”

“Parah banget kalo dia kagak ngasih tau gua anjir.” “Bener juga.”

Sang lelaki mengeluarkan ponselnya, “Mau gua kirim ke Gio.”

Cekrek!

“Lo bareng sama Gio, Gib?” yang ditanya mengangguk, memasukkan ponselnya kembali saat selesai mengetikkan sesuatu di atas sana.

“Iya, tadi malem baru nyampe.”

“Terus, dia dimana sekarang” “Udah di depan noh, ngobrol sama bokap nyokap lo, eh, ngobrol ama nyokap nya dia juga sih.”

Rasa gugup kembali menyelimuti hati Syakilla, tangannya kembali bertautan mencoba untuk menetralisir rasa gugup nya itu.

“Udah mau jam 8, bentar lagi lo jadi istri sah dari orang yang ada di depan sana, Kil.”


Kedua keluarga dan beberapa sanak saudara sudah berada di masjid yang berada di dekat hotel dreamiesーsesuai interupsi ibu Syakilla beberapa hari yang lalu.

Syakilla masih berada di halaman belakang masjid, suara dari beberapa orang di dalam yang terdengar membuat dirinya semakin dilanda rasa gugup. Genggaman pada tangannya pun tidak cukup untuk menetralisir rasa gugup yang membuncah.

“Tangan lo dingin banget “ “Gue gugup banget.” Tubuhnya ia miringkan, menghadap Aqia yang menatapnya sedikit khawatir.

“Keputusan gue bener kan, Qiy?” Aqia mengangguk mantap dengan tangan yang semakin mengeratkan genggamannya.

“Nikah itu ibadah, nikah adalah jalan bahagia lo menuju surga, sama orang yang tepat, yang bisa nuntun lo ke surga. Dan Gio adalah orang itu, Kil. Gue yakin Gio adalah orang yang tepat. Gio adalah jodoh lo yang tertulis di Lauhul Mahfudz, dia adalah orang yang selama ini lo cari.” Tatapannya yang lembut berhasil membuat Syakilla sedikit tenang.

Keduanya tersenyum, hingga beberapa saat kemudian, suara dari sang penghulu memasuki indera pengedaran orang orang yang ada di sana. Termasuk Syakilla dan Aqia.

“Akad nya mau diwakilkan, atau langsung dari Bapak?” “Langsung saya aja, Pak.”

Genggaman erat dari Syakilla membuat Aqia tersenyum pada gadis itu, “Kil, gue nggak akan ngelupain momen momen ini, di mana lo akan menjemput kebahagian abadi lo.”

“Nak Gio, siap?” “Siap, Pak.”

Suara sang penghulu kembali mengisi seluruh masjid, ucapan doa sebelum ijab kabul membuat semua orang disana mengaminkannya.

“Nak Gio, ijab ini bisa kamu ulang 3 kali kalau kamu salah. Tapi, semoga nggak ngulang ngulang, ya? Mantapkan hati kamu, jangan gugup, lihat, apa kamu nggak penasaran calon istri kamu di belakang sana? Saya aja ikutan senyum lihat gimana cantiknya istri kamu itu.”

Kekehan beberapa orang membuat suasana tegang menjadi sedikit mencair, Gio hanya tersenyum dengan balutan jas putih, ia kembali menatap penghulu.

“Saya mulai, ya?”

Pria paruh baya tersebut menarik tangan Gio dan tangan Wijayaーayah dari Syakilla, untuk berjabat tangan, tangan yang lainnya membuka beberapa berkas kedua mempelai tersebut.

“Baik, Pak, bisa di mulai.”

Wijaya menarik napasnya panjang sebelum kembali membuka mulutnya, “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Gionino Baskara Nugraha bin Nugraha Sucaksono dengan anak saya yang bernama Syakilla Meira Amanda dengan mas kawin berupa rumah dengan luas tanah sebesar 645m² beserta isinya, serta uang tunai sebesar 50 juta rupiah dibayar tunai.”

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Syakilla Meira Amanda binti Dedi Wijaya dengan maskawin yang tersebut, tunai.”

Satu tarikan napas dari Gio, menjadi puncak dimana dirinya berjanji dihadapan Tuhan, dimana dirinya berjanji dihadapan semua orang, bahwa dirinya, akan senantiasa menjaga, membahagiakan wanita yang kini tengah berjalan ke arahnya, duduk disamping dirinya dengan wajah yang luar biasa cantiknya itu, tersenyum manis dengan mata yang berkaca kaca, mencium punggung tangannya dengan lembut, mencoba untuk menyalurkan rasa bahagia yang tidak pernah ia rasakan seumur hidup, rasa yang tidak bisa dideskripsikan oleh kata kata.

Gio membawa dirinya untuk mengecup kening sang mempelai, menyalurkan rasa yang membuncah yang ia rasakan.

Keduanya kembali saling menatap, tersenyum bahagia dengan ibu jari sang lelaki yang mengusap kedua pipi Syakilla.

“Syakilla.” “Ya?”

“Aku mungkin bukan yang terbaik, but i promise, i'll love you with all my heart, until the end. I love you, Syakilla, nobody will change that. i promise.”