Too good : after wedding | narasi (iii)
Pemuda dengan jaket kulit hitam serta kacamata berwarna sama berjalan seraya memainkan kunci motornya pada lobi gedung yang cukup besar itu. Langkahnya ia bawa menuju lift yang sedikit lagi tertutup.
Ia menunduk sekilas saat dirinya berhasil mencegah pintu lift yang tertutup pada orang orang di dalamnyaーdua orang wanita yang terlihat berumur 30-an, serta petugas kebersihan.
“Eh, kamu tau Mbak Alin?” “Karyawan gedung lantai 5 itu nggak sih?” “Iya, sekretaris nya mas mas ganteng itu loh.”
Wanita yang memakai blus biru itu terkekeh pelan, “Mas Gio, mas ganteng mas ganteng, sok deket kamu!”
Gibran, dirinya yang sedari tadi menunduk, perlahan menajamkan telinganya bermaksud untuk ikut mendengarkan percakapan setelah ia mendengar nama sahabat nya disebut.
“Emang kenapa sama Mbak Alin itu?”
“Kemarin aku ngeliat dia masangin dasi Mas Gio, mereka apa pacaran, ya?”
“Ah, masa iya? Mungkin aja Mbak Alin inisiatif bantu atasannya? Kamu jangan suudzon begitu.”
Lagi lagi wanita yang sedikit pendek dari kawannya itu berdecak pelan,
“Tapi aku sering banget ngeliat Mbak Alin sama Mas Gio itu kayak interaksi nya lebih dari atasan sama bawahan, serius.”
“Masa iya?” “Iya, tapi kalo dipikir-pikir mereka emang cocok sih.”
“Gedung lantai 5 itu yang penerbitan itu kan?”
“Iya, kamu masa nggak pernah tau gimana interaksinya Mbak Alin sama Mas Gio sih? Anak anak sering ngomongin mereka soalnya sering se-lift bareng.”
Gibran yang masih setia menguping pembicaraan kedua wanita itu perlahan mengeluarkan ponselnya.
“Kata Siska anak marketing, dia pernah waktu itu ngeliat mereka berdua masuk lift sambil gandengan tangan, ih kataku mah mereka beneran pacaran!”
“Ssstt, udah ah, lagian bukan urusan kita mereka pacaran atau nggak.”
Lift terbuka pada lantai 4, kedua wanita itu akhirnya keluar, menyisakan Gibran yang diam diam melirik kedua wanita itu hingga pintu lift kembali tertutup.
Ia berdecak pelan, “Tu kampret kalo beneran kelakuan nya kayak apa yang diomongin cewek cewek tadi padahal dia udah nikah, gua gorok kaya ayam kampung lu, Yo.”
Gibran berjalan dengan tergesa saat pintu lift kembali terbuka dan memperlihatkan keadaan lantai 5, dimana kantor sahabatnya itu berada.
Beberapa pasang mata yang kenal siapa Gibran, tersenyum kearah pemuda itu.
Langkahnya terhenti saat melihat Alinーsekretaris Gio yang tengah fokus pada komputernya.
Berdeham pelan, membuat gadis itu menoleh dan beranjak dari duduknya, lalu tersenyum kearah Gibran yang menatapnya datar.
“Mas Gibran, mau ketemu Pak Gio, ya?” “Hm.”
“Silahkan masuk, Masー” “Gue bisa sendiri.” Putusnya seraya mendorong pintu ruangan sahabatnya.
Berdecak pelan saat dirinya mendapati Gio yang tak terpengaruh terhadap kehadiran dirinya, memilih untuk terus fokus pada kerjaannya.
“Kenapa, Yo?”
“Oh, lo udah dateng?” Tanya Gio yang masih fokus pada komputernya.
“Ck, buru ah, lu mau ngomong apaan?!”
Gio lantas segera melepas kacamata bacanya dan beranjak dari duduknya, berjalan mendekat kearah Gibran yang sudah duduk di sofa ruangannya itu.
“Jadi gini, ada talent gue yangー”
“Lu pacaran sama si Alin Alin itu?” “Hah?”
Pertanyaan yang benar benar menjanggal hati Gibran akhirnya ia keluarkan, dirinya memposisikan tubuhnya dengan nyaman.
“Gua tadi pas kesini tuh, kebetulan bareng ama 2 cewek, kantor bawah lu tuh, terus mereka ngomongin lu bedua.”
“Lo berdua?” “Ya elu ama si Alin itu dah. Katanya lu pacaran ama dia. Ih, istighpar lu nyet, baru nikah lu udah main selingkuhan aje anjing.”
“Gue nggak selingkuh.”
“Lah tuh? Tapi orang orang bilang lu pacaran ama die.”
“Eh, gua kasi tau ye, si Alin tuh keliatan cewek gatel anying, masa gua pernah liat dia di diskotik mana dah tuh, deketnyaーanjing, mana ya? Gua lupa soalnya gua ikutan mabok.”
“Ya lagian siapa yang pacaran sama dia.” “Ya elu.”
“Gue nggak, lo juga, omongan orang di telen mentah mentah.”
Gibran berdecak pelan sembari menyandarkan punggungnya, “Tapi gua serius ya, lu awas aja jadi brengsek, inget lu udah punya istri, ege.”
“Gue tau.”
“Tar kalo si Syakilla tau Alin gatel sama lu, gimana? Bisa berabe.”
“Dia udah tau.”
Gibran yang hendak mengambil snack yang berada di atas meja seketika terhenti, “SUMPAH LU??”
“Shhh, berisik lo.” “Eh, gua serius, Syakilla tau cewek itu?”
“Iya, kemarin nggak sengaja ketemu di resto sushi.”
“Lu juga ngapain anjing???” “Gue ketemu sama talent baru. Udah ah, gue nyuruh lo kesini soalnyaー”
“Tar dulu anying! Terus-terus, si Syakilla gimana?? Dia pasti marah lah sama lu, lu juga, kaga usah banyak tingkah kata gua mah, lu tuhー”
“Lo mau kerjaan nggak? Kalo nggak mau, bakal gue oper ke orang lain nih kerjaan yang bakal ngasilin cuan banyak.”
Gibran yang tengah membolakan matanya, perlahan mengembangkan senyum termanis yang bisa ia lakukan.
“O-ohhh, lu nyuruh gua kesini soalnya mau ngasih job??? Ah, tau gitu lu langsung ngomong aja ege dari tadi, hehehehe.”
“Gue mau ngomong tapi lo putus terus.”
“Yaaa, gimana, gue kan kepo...”
“Hhh, Ok, gue jelasin ya, tentang kerjaannya, lo bisa tolak job ini klo nggak sesuai sama kemauan lo.”
“Hahahaha! Anjir perut gue!” Syakilla berdecak pelan seraya kembali memasukkan sesendok bubur ke dalam mulutnya.
“Eh, tapi emang kenapa sih? Kalian kan udah suami istri?”
“Nggak wajarlah! Gue sama Gio suami istri cuma status doang. Ck.”
Ada perasaan menyesal saat Syakilla memutuskan untuk bercerita mengenai kejadian tadi malam kepada Aqia yang justru, gadis itu tertawa terbahak bahak padahal dirinya masih merasakan malu yang amat sangat.
“Tapi untung lo gak langsung diterkam si Gio, ya.” “Anjing mulut lo.”
“Eh tapi gue serius Kil.” Aqia membenarkan posisi duduknya,
“Nih, kalo Gio bukan cowok yang bener, ngeliat lo pake handuk dan kalian cuma berdua di rumah ini, pasti dia langsung ngedeketin lo, terus nyobaーaaahhh! Anjir gue merinding ngebayangin.”
Syakilla melempar kerupuk buburnya, “Otak lo mesum juga, ya.”
Aqia mengangkat kedua bahunya, “Gue berbicara fakta.” Ucapnya seraya ia kembali melahap buburnya hingga habis.
“Ortu lo udah tau kalo lo pisah kamar sama Gio?”
“Nggak lah, apa kata mereka gue sama Gio pisah kamar?!”
“Iya sih, mereka pasti mikir kalian bakal cerai.”
Pergerakan Syakilla terhenti bersamaan Aqia yang beranjak dari duduknya, hendak mengambil segelas air mineral.
“Qiy.” “Hmm?” Aqia melirik Syakilla seraya meneguk segelas air.
“Menurut lo… Gue sama Gio bakal cerai nggak?”
Byur!
Aqia sontak menyemprotkan air yang mulai memasuki tenggorokan, “Kil, lo nanya begitu make bismillah dulu nggak sih?? Istighfar lo.”
Gadis itu buru buru meletakkan gelas kaca di atas meja pantry seraya berjalan mendekati Syakilla yang menunduk sembari memainkan sendok di atas bubur.
“Ya… Gimana, ya.” “Gimana apa??? Loーastaga… Umur pernikahan lo aja belum genep sebulan dan lo udah mikirin hal itu? Gila lo?”
Syakilla menghela napas, punggungnya ia sandarkan pada kursi makan dengan mata yang menatap mata tajam manajernya itu.
“Lo mau jadi janda muda? Hah?” “Ck, ya nggak mau.”
“Makanya, nggak usah mikirin hal aneh kayak gitu,” Aqia melembutkan tatapannya, “Kil, gue udah berulang kali sama lo kaloー”
“Pernikahan itu adalah hal yang sakral.” Putus Syakilla, “Gue tau, Aqia, tapiーhah…”
“Kenapa sih? Gio ada salah sama lo? Kayak, sikapnya dia gitu? Atauー”
Syakilla menggeleng, “Nggak, nggak ada yang salah sama dia, he's really a good person. Semuanya yang ada sama Gio tuh, hampir sempurna.”
“Terus? Kenapa lo malah keliatan ragu?”
Hening tercipta di antara kedua sahabat itu beberapa saat, jarum jam menjadi musik diamnya mereka.
“Gue…”
1 detik…
2 detik…
3 detik…
Syakilla menatap Aqia dengan tatapan sendu, “Gue takut kalau suatu saat bakal nyakitin Gio, Qiy. G-gueー”
“Dia baik banget sama gue, dia hampir sempurna, sedangkan gue? Apa yang dia dapet dari gue selain gue yang pembangkang? Gue yang moody, gue yang sikapnya berubah-ubah? Apa timbal balik yang gue kasih ke dia, Aqia? Nggak ada.”
Syakilla mengusap wajahnya perlahan, “Nggak ada hal baik yang gue kasih ke dia, Aqia…”
“Ada, ada hal baik yang lo kasih ke dia dan gue yakin, kalau Gio pasti bakal bahagia.”
“Apa?”
“Dengan lo nerima perjodohan ini dengan lapang dada, tanpa ada unsur paksaan apapun, gue yakin, Gio udah bahagia akan hal itu, Kil.”
Aqia menggenggam tangan Syakilla dengan penuh perasaan, “Kil, apapun yang lo kasih ke Gio, gue yakin kalau dia bakalan nerima, apapun itu. Meskipun lo orangnya moody, atau apa kek, gue yakin dia nerima itu.”
“He's love you so bad, Kil, gue bisa ngeliat itu di mata dia pas akad, pas dia nyium kening lo, gue yakin kalau dia sesayang itu sama lo, Syakilla. Dan gue juga yakin kalau dia pasti nerima apapun tentang lo.”
“Justru itu, justru itu gue takut kalau gue bakal nyakitin dia, Aqia.” Syakilla menatap Aqia dengan mata yang mulai memerah.
“Kalo gitu, sekarang giliran lo.”
“H-hah?”
“Love him as much as he loves you, can you?”