jehasvvrite

Pemuda dengan rambut yang disisir ke belakang itu, menatap datar pada sosok yang sedari tadi meronta, meronta untuk dilepaskan pada rantai besi yang melilit kedua pergelangan tangan serta kakinya itu.

“Mau sampai kapan Anda berusaha melepas rantai itu? Jangan terlalu memaksa, rantai itu nggak akan lepas.”

“Ck! Kamu siapa berani berani nya ngelakuin ini ke saya? Hah?! Terus, dimana jalang itu?! DIMANA JALANG ITU?!!!”

Mata yang sedari tadi menyorot datar, berubah menjadi amarah, tangannya yang menggenggam gelas yang terisi setengah wine itu, perlahan meletakkan gelas tersebut sebelum berjalan mendekati pria yang tengah berbaring diatas ranjang dengan kedua kaki dan tangan diikat dengan rantai.

“Ngomong apa barusan?” Dengan napas yang tersengal, pria itu membalas tatapan tajam pemuda yang seperti nya sudah tersulut emosi.

“Jalang itu, dimana jalang itu?! Pasti dia yang bikin saya kayak giniーAKH!”

“Sekali lagi Anda nyebut calon istrinya dengan sebutan seperti itu, saya nggak akan berpikir panjang buat ngebunuh Anda habis habis an.” sulutnya dengan tangan yang mencengkram rambut pria itu.

“Dan jangan sekali kalinya bicara tentang calon istri saya menggunakan mulut kotormu itu.”

“Kalian nggak setara.”

“Gio.” Matanya terpejam sejenak, berusaha menetralisir amarahnya sebelum melepas cengkraman kuat pada rambut Rendra.

Dimas yang melihat itu, melirik sekilas pada Rendra yang terlihat kesakitan sebab bekas cengkraman Gio.

“Lo nggak seharusnya kayak gitu.”

“Dia duluan.” Elak Gio seraya membenarkan letak jas nya, ia membalikkan tubuhnya, melangkah pergi meninggalkan pria yang sangat ia benci dengan diikuti Dimas yang membawa beberapa lembar kertas ditangannya.

“Jadi?”

Dimas menutup pintu, mengintip sejenak di dalam kamar Rendra, “Kita nggak bisa nyekap dia lama lama.”

Alis Gio bertaut tak mengerti, “Kita harus ngelepasin dia.”

“Lo gila?!” Teriak Gio tak terima, napasnya kembali tersengal, berusaha menahan emosi yang tiba tiba kembali meluap.

“Kita nggak bisa kayak gini terus, Yo.”

“Dan ngelepasin pria brengsek itu di luaran sana?! Terus ngasih kesempatan buat nemuin calon istri gue lagi? Iya?!”

“Kita nggak akan ngebiarin dia ketemu sama Syakilla.”

“Kita nggak bisa nebak itu semua, Dim! Dia orang gila! Semua hal bisa dia lakuin buat bales dendam!”

Dimas memijat pangkal hidungnya, melepas kacamata yang bertengger manis diatas hidung mancungnya.

“Dan lo mau kita dituduh jadi penculik?” Ucap Dimas dengan nada rendah.

“Kalo kita terus terusan nyekap dia, pasti orang orang bakalan curiga kalo Rendra di culik, terus bikin laporan orang hilang.”

Gio terduduk dengan kedua telapak tangan yang menyembunyikan seluruh wajahnya.

“Yo, ini masih sehari kita nyekap dia, orang orang nggak akan nyadar, dan Rendra nggak bakalan ngelaporin kita.”

Dimas menyisir rambutnya kebelakang, “Karena apa?”

“ーkarena dia nggak ada barang bukti buat ngelaporin kita ke polisi. Dan gue yakin walaupun dia punya barang bukti, dia nggak bakalan berani buat ngelaporin ini ke polisi, karena dia juga ngelakuin kejahatan.”

Dimas menatap gerak gelisah Gio yang masih menutup wajahnya, “Dia punya rekaman Syakilla.”

“And now he doesn't have it.”

Gio menatap bingung pada Dimas yang menatapnya dengan senyum kecil, “Maksudnya?”

“Lo tau kalo kemarin gue sama beberapa anak buah gue ke Jakarta,”

Ada sebuah jarak sebelum Dimas kembali berucap, “Gue geledah isi rumah dia.”

“Kok lo bisa tau rumahnya?” “Apa yang nggak bisa seorang Dimas lakuin?” Pemuda itu beranjak dari duduknya, menghadap Gio yang mendongak.

“What Dimas wants, he get it.”

Dimas mengeluarkan sebuah flashdisk kecil berwarna merah hitam, “Semua rekamannya udah ada disini.”

“Bukan cuma punya Syakilla, punya Aqia dan beberapa yang lain, ada disini semua.”

Gio membelalak kaget hingga dirinya sontak beranjak dari duduknya, merebut flashdisk itu dan menatap tajam pemuda dihadapannya.

“Lo ngeliat?” “Hah?” “Lo ngeliat videonya?”

Dimas yang tercengang akan pertanyaan Gio seketika memukul bahu temannya itu, “Goblok! Bisa bisanya lo mikir gue ngeliatin video video itu.”

Helaan napas ia keluarkan, “Gue nggak se-brengsek itu, Yo.”

Gio memejamkan matanya, ia kembali terduduk dengan kepala yang bersandar pada dinding, “Lo yakin udah ambil semua rekaman itu?”

Yang ditanya mengangguk, “Dia cukup kolot buat jadi kepada direksi walaupun di umurnya yang masih 40-an awal,” Dimas kembali duduk disamping Gio, “Dia nyimpen semuanya di satu device doang.”

“Yakin?” “Iya.” “Lo udah ngecek gdrive nya? Atau ada akun khusus buat nyimpen semua video video itu?”

Dimas lagi lagi mengangguk, “Lo bisa percaya sama gue, Yo, gue terjun ke dunia kayak gini udah cukup lama.”

“Lagian bukan cuma file nya aja yang gue pindahin,”

“Dia nyimpen semuanya di laptop,” lanjut Dimas seraya mengedikkan bahunya. “Cukup gampang buat gue ambil bukti-bukti kesalahan dia.”

“Lo nggak bisa ngelakuin itu semua tanpa surat perintah, Dim.”

Dimas mengangguk paham, “Dan dia bakalan ngerti sama itu semua? Nggak akan.” Dimas menepuk bahu kiri temannya itu dua kali.

“Gue udah bilang kan? Dari cara dia nyimpen semua video nggak senonoh itu, udah keliatan kalau dia itu kolot.”

“Lagian nih kalo gue ngaku ke Rendra gue detektif, nggak bakalan berani sih.”

Gio menatap Dimas dengan seksama sebelum menganggukkan kepalanya lemah, “Gue cuma khawatir aja.”

“Gue tau, lo bisa percaya sama gue, asal,”

“Asal apa?” “Bayaran gue mahal.”

Terkekeh pelan, Gio mengangguk sebagai jawaban, “Setelah semuanya selesai, gue kirim uang sesuai dengan nominal yang lo mau.”


“Abang!” Syakilla segera memeluk lelaki yang lebih tua 4 tahun dari nya, membuat lelaki yang bernama Deka itu, seketika tersenyum dan membalas pelukan dari yang lebih kecil tak kalah eratnya.

“Pasti capek ya, Bang?”

Deka mengangguk menyetujui, “Banget, tapi ngeliat kamu baik baik aja, capeknya Abang jadi ilang gitu aja.”

“Yeeeh, gombaaal!” Keduanya tertawa, hingga beberapa saat setelahnya, Aqia yang barusaja keluar dari kamar mandi, membuat kedua adik kakak itu menghentikan tawanya.

“Oh! Ini temen Syakilla, Bang, sekaligus manajer Killa, hehehe.”

“Aqia,” “Deka.” Keduanya menjabat tangan sejenak, lalu saling tersenyum.

“Kalian nggak pernah ketemu, yaa?” “Iya, padahal udah berapa lama jadi manajernya Killa?”

“4 tahunan lebih kayaknya, gue juga temen Killa pas di k kampus.” Deka mengangguk.

“Lo emang ke Indramayu bareng adek gue apa gimana?”

Aqia menggeleng sebelum menjawab, “Gue kemarin di Jakarta, masih ngurus sesuatu tentang penerbitan buku baru nya Killa, tapi kemaren sore, gue di telfon sama bu Zara kalo Killa ngalamin kejadian yang nggak ngenakin, jadi yaaa, gue langsung tancap gas kesini”

Deka mengangguk sebagai jawaban, matanya mencari keberadaan yang lain.

“Katanya sama Gio, mana?” “Oh, ituuu, Gio lagi ngurus orang yang kemarin.”

Aqia menatap Syakilla, “Gio keluar?” Anggukan kepala menjadi jawaban pertanyaan dari Aqia.

“Kenapa? Lo mau nitip?” Tanya Syakilla saat sahabat sekaligus manajernya itu melamun.

“Nggak kok, nanya aja.” Jawab Aqia asal, kepalanya menunduk, membuat Syakilla semakin bertanya-tanya.

Deka sudah masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

“Qiy, lo nggak papa?” “Gue nggak papa, emang kenapa?”

Syakilla menggelengkan kepalanya pelan, “Ngomongin Gio, lo nggak risih kan tadi ada Gio? Atau Abang gue kesini?”

“Ya enggak, emang kenapa? Lagian ngapain juga gue risih, mereka nggak bakalan ngapa-ngapain kan?”

“Gak gituuu,” Syakilla menghela napas, “Dari pas lo abis dari Indomaret, pas Gio bangun dari tidurnya, lo diem gitu… Gue takut lo risih ada Gio tadi…”

Gue bukan risih, Killa, tapi gue takut. Takut kalau keputusan gue buat speak up itu adalah pilihan yang salah.

“Gue nggak papaaa yaelaaah, tenang aja, lo terlalu khawatir sama hal yang abu abu.” “Ck, gue kan cuma mau menjaga perasaan lo.”

“Cih, menjaga menjaga,” Aqia mencibir pelan, “Btw, Abang lo cakep juga.”

“Lo mah! Semuanya aja lo embat!” “Hahahahah!”

Ia menguncir asal rambutnya, sejujurnya, untuk keluar kamar, Syakilla masih benar benar malas akan hal itu, terlebih rasa takutnya yang masih bersarang pada dirinya.

Kemarin, setelah kepergian Gio, Zaraーibu Syakilla, bergegas menuju penginapannya, memastikan apakah anaknya itu baik baik saja. Ah, pemuda itu ternyata membicarakan hal ini kepada orang tuanya. Ia tidak bisa berbohong kalau ia benar benar marah sebab ini, tetapi ia juga tidak bisa menyalahkan pemuda itu karena pada dasarnya, serapat apapun ia menyembunyikan kejadian yang menimpanya, orang tua Syakilla harus tau hal itu.

“Cih, kemarin bener bener buru buru apa gimana sampe tas nya ketinggalan.”

Ya, selepas Zara memastikan keadaan Syakilla baik, dan gadis itu juga masih ingin sendiri, wanita paruh baya itu kembali ke rumah sakit, genap 5 hari, dirinya dan juga Zara menjaga Diana yang masih harus kemo.

Tungkainya ia bawa menuju nakas, meneguk air putih botolan yang ia beli beberapa waktu lalu sebelum berjalan keluar. Perut nya ini benar benar minta diisi, ia berharap di tengah jalan nanti menemukan tukang bubur karena demi apapun, ia benar benar menginginkan makanan itu. Tepat ketika ia membuka pintu kamar penginapannya, matanya membelalak terkejut saat dirinya mendapati seorang pemuda yang tengah terduduk bersandar pada dinding kamar depannya dengan mata yang terpejam.

Dengan panik, ia segera berjongkok dan berulang kali menepuk pipi pemuda itu yang dingin, “Gi, Gio! Gi, bangun, Gi!”

Bibirnya biru sebab kedinginan dengan kulit yang memucat, membuat Syakilla semakin dirundung rasa khawatir, sampai entah sudah keberapa kali ia menepuk bahkan mengguncang tubuh yang lebih besar darinya itu, akhirnya Gio mulai membuka matanya dengan perlahan.

“Gi? Gio?” “Hmm.” Hanya itu yang bisa ia utarakan karena pusing yang mendera dirinya.

“Lo kenapa ada disini sih??? Kenapa nggak nyewa kamar ajaaa? Hah?? Gembel lo?!” Senyum tipis terukir pada wajah pucatnya sebelum tangannya ia lingkarkan pada pinggang Syakilla dan menariknya menuju pelukan dinginnya.

Tentu saja hal itu membuat Syakilla terkejut bukan main, sampai ketika ia hendak protes, niatnya terhenti begitu saja saat Gio melepas pelukannya dengan cepat dan membuka matanya lebar lebar.

“Maaf,” sesalnya sembari menyamankan posisinya. Syakilla berdeham pelan, berusaha menghapus rasa canggung yang tiba tiba melingkupi ruang diantara mereka.

“Lo ngapain disini? Tidur disini juga lagi.”

Dengan kesadaran yang hampir penuh, Gio mengusap wajahnya pelan, “Tadi malem saya beneran khawatir sama kamu, nggak ada chat masuk dari kamu, atau telfon, sampe akhirnya saya chat kamu, tapi kayaknya kamu udah tidur.”

Syakilla menganga kecil dengan alis yang bertaut.

“Saya cuma mau make sure kalo kamu beneran baik baik aja, Syakilla, nggak ada niatan apapun. Rencana kalo pagi ini kamu nggak bales chat saya dan nggak keluar kamar, saya bakalan minta security buat bukain kamar kamu.”

Gio menatap takut pada Syakilla yang masih memberikan tatapan tak percaya pada pemuda dihadapannya itu.

“Dan berakhir lo tidur di depan kamar gue?”

“Ketiduran.” Ralat Gio dengan kepala yang menunduk. Syakilla berdecak tak percaya saat mendengar pernyataan yang dilontarkan pemuda berstatus sebagai calon suaminya itu.

“Lo bego apa gimana sih, Gi?” sang pemuda sontak mendongak, menatap wajah amarah gadis nya itu.

“K-kenapa, Syakilla?”

“Ck,” “Seharusnya, kalo lo tau dan nyadar gue udah tidur, lo minta lah kamar buat lo tidur, maksud gue, liat keadaan lo sekarang, wajah pucet, bibir biru, lo kalo bosen hidup tuh bilang! Jangan kayak gini. Lo bayangin, gue enak enakan tidur, mimpi indah di dalem sana, sedangkan lo? Khawatiiiir mulu, sampe lupa ama kesehatan sendiri.”

Syakilla berdecak, “Lo tuh ya. Ok, nggak papa kalo lo khawatir sama orang lain, tapi lo pikirin dulu diri sendirii, jangan asal nge-khawatirin orang tapi sendirinya nggak keurus.”

“Sama aja!”

Syakilla menghela nafasnya saat selesai dengan amarahnya. Ia menatap jengkel pada Gio yang terdiam mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum senyuman terukir jelas pada wajah pria itu, dengan lesung pipi yang baru saja diketahui oleh Syakilla.

“L-lo kenapa malah senyum??!!!”

Gio semakin melebarkan senyumnya, “Kamu khawatir sama saya.”

“H-hah?”

Seolah mengerti maksud dari kalimat Gio, gadis dengan kaos hitam lengan panjang itu seketika berdiri, merapihkan rambutnya dengan asal.

“G-gueーYA IYALAH BODOH! Kalo lo kenapa napa gimana? M-maksudnya, l-lo kan ada di depan pintu kamar gue, ntar gue yang kena pidana kalo lo kenapa napa!”

Gio terkekeh pelan dengan kepala yang tertunduk, mencoba untuk menetralisir rasa pusingnya sebelum beranjak dari duduknya.

“Yaudah, berhubung kamu baik baik aja dan bawel nya udah balik lagi, saya mau pergi dulu.”

“Kemana?” Gio menekuk bibirnya kebawah, tanda bahwa ia sedang berpikir.

“Saya mauー” “Nggak mau sarapan sama gue?”

“M-maksud gue, lo udah ketiduran di luar semaleman, gue yakin kalo lo sekarang masih kedinginan, danー” ia segera mengalihkan pandangannya saat Gio terus menerus menatap dengan tatapan yang sulit diartikan.

“ーlo bisa gunain kamar mandi kamar penginapan, sama lo bisa tidur bentar di kamar.” lanjut Syakilla dengan mata yang terus melihat sekitar, enggan untuk menatap netra Gio yang masih menatapnya dengan dalam.

“Is it okay?” “H-hah?”

“Saya masuk ke kamar penginapan, is it okay? Kamu beneran nggak papa ada cowok yang seruangan sama kamu?”

Syakilla menggigit bibir bawahnya pelan sebelum ia kembali mendongak, “G-gak apa kok! L-lagian lo buka orang asing kan? M-maksudnya,”

Syakilla meneguk ludahnya dengan kasar, “L-lo kan calon suami gue.” Ucapnya dengan terbata yang berhasil membuat Gio menyunggingkan senyumnya dengan lebar.

“Hmm, cowok yang di depan kamu ini, memang calon suami kamu.”

“Ck, sialan!” “Hahahaha! Udah kedua kalinya anjrit lu kalah mulu ama gua!” Remaja dengan balutan hoodie putih itu segera menepis tangan sahabatnya yang mencoba untuk merangkul dirinya.`

“Dihh, ngambek lu, Yo?” “Kagak, apaan dah.” Gio, remaja berumur 18 tahun itu berdiri dari duduknya setelah melepas stick PS berwarna putih, berjalan untuk meninggalkan Gibran-sahabatnya, yang memilih untuk menyulut rokok.

“Lu ada tamu, ya?” Tanya Gibran seraya menjajarkan dirinya dengan Gio yang menatap beberapa orang yang baru saja masuk ke rumah nya.

Kayaknya.” “Kagak lu samperin?”

Gio mengedikkan bahunya sebelum merebut rokok yang diselipkan Gibran diantara jari tengah dan telunjuknya, “Kemarin si Nopal bawa vape, terus gua nyoba.”

Remaja dengan rambut sedikit gondrongnya itu, kembali merebut rokok miliknya, menyesapnya dalam dalam sebelum menghembuskannya keluar, menghantarkan rasa hangat pada rongga paru parunya.

“Rasanya enak dah, lu harus nyoba.”

Gio hanya mendengarkan dengan raut wajah datar, bersamaan mata yang kembali melihat ke bawah, dimana sebuah mobil terparkir rapih dihalaman rumahnya.

“Gue ambil minum sebentar, lo mau apa?”


Suara ramai samar samar terdengar saat Gio membuka pintu kamarnya, “Baru aja mau Papa samperin.” Suara pria paruh baya yang baru saja menginjakkan kakinya di lantai 2, membuat Gio segera menoleh dan menatap sang Papa yang sudah memakai pakaian rapih.

“Siapa, Pa?” “Temen Papa sama Mama waktu kuliah dulu,” sang Papa melihat sejenak keadaan dibawah sana sebelum melanjutkan, “Dari Semarang.”

Gio hanya terdiam, melihat dari jauh beberapa orang yang berasa di ruang tamu, langkahnya mendekati pembatas lantai, memandangi lebih dekat kegiatan dibawah sana.

“Ke bawah ya, Bas. Papa tunggu.” Ucap pria itu sebelum meninggalkan anak semata wayangnya yang masih memperhatikan tamu-tamunya dari atas.

Matanya menatap datar, memperhatikan satu persatu beberapa orang yang asing dimatanya dengan seksama, sebelum netra almond itu, menangkap seseorang yang entah mengapa, membuat dirinya terus menerus menatapnya lagi dan lagi.

Seperti candu, bahkan ketika seseorang yang ia perhatikan tertawa, dirinya ikut tersenyum, sampai pada dimana eksistensinya seolah terlihat, seseorang itu menatap dirinya yang membuat Gio dengan cepat cepat membalikkan badannya, berharap bahwa dirinya tidak kedapatan tengah mencuri pandang terhadap sosok asing tersebut.

Dirasa aman, ia membalikkan badannya, kembali menatap sosok tersebut hingga tanpa sengaja, telinganya menangkap suara sang Mama, “Syakilla sekarang udah kelas berapaa?” Matanya mengalihkan pandangannya pada sang Mama.

“Baru masuk SMA, tante..” “Heh, kok manggil tante sih, panggil aku Bunda.” “Haha, iya, Bunda, Syakilla baru masuk SMA.”

Ia terus memperhatikan percakapan samar samar yang ia dengar dari sang Mama dengan gadis yang ia ketahui bernama Syakilla itu.

“Aduhhh, cantiknyaa, kamu nih cocok banget jadi tuan puteri kalo cantik begini.. Huh, bunda jadi gemes!”

Gelak tawa terdengar dari bawah sana, tanpa sadar hal itu membuat Gio ikut tersenyum tipis, sangat tipis, sampai dirinya sendiri bahkan tidak sadar bahwa ia menikmati percakapan tersebut.

“Lu jadi ambil minum nggak sih?”

Suara dari belakang membuat ia berdecak pelan sembari membalikkan tubuhnya, menatap kesal pada Gibran yang baru saja keluar dari kamarnya.

“L-lu kenapa natep gua begitu monyet??!”

“Lo, pengganggu.” Sarkasnya seraya masuk ke dalam kamar, meninggalkan Gibran yang tercengang tak mengerti.

“G-gua ada salah apaan anjir??” Matanya menangkap tempat dimana Gio sedari tadi berdiri, “Emang dibawah ada apaan dah?” Baru saja ia hendak melangkah mendekat, tangannya ditarik paksa hingga kembali memasuki kamar bernuansa abu abu milik Gio.

“Masuk.” Perintah Gio seraya menutup pintu kamarnya.

“Dibawah ada apaan sih? Tamu keluarga lu kan? Rame bener.”

Gio menarik stick PS nya, “Ayo lanjut main lagi.” Ajak Gio, mencoba untuk mengalihkan rasa penasaran Gibran yang sepertinya berhasil. Tidak, ia tidak akan memberikan kesempatan dimana Gibran menemukan sosok yang mencuri perhatiannya itu, tidak, dan tidak akan pernah.

Geezzzz, how posessive he is...


Too good : narasi vi

“Lo dengerin gue nggak sih?” Lamunannya terbuyar seraya meletakkan kembali ponsel yang sudah lama mati itu diatas meja.

Dilihatnya Dimasーteman kampusnya waktu kuliah dulu, “Denger kok.”

Dimas berdecak pelan, ia kembali membuka lembaran kertas yang ia genggam, “Nanti gue cari tau siapa aja korbannya.”

Gio mengangguk, “Gue juga yakin kalo bukan cuma Syakilla doang korbannya, ngeliat tindakan dia yang udah sejauh ini.”

“Lo bakal mastiin kalo kasus Syakilla nggak bakal diangkat ke media kan?” Lanjut Gio, gelengan tegas ia dapatkan.

“Gue juga sadar kalo kasus ini sensitive banget buat Syakilla, apalagi dia penulis, nggak semua orang bisa open minded perkara ini. Masih banyak yang nyalahin korban padahal jelas jelas disini korban yang banyak dapet getahnya gara gara orang gila kayak Rendra.” Dimas meletakkan lembaran kertas yang ia genggam sebelum meneguk kopi yang sudah mulai dingin itu.

“Gue bener bener nggak habis pikir kalo yang ngelakuin ini kepala Raksa,” “Penerbitan itu bukannya udah termasuk gede, ya?”

Pemuda yang tengah memainkan kunci mobilnya itu, menyandarkan punggungnya dengan mata yang terpejam, “Gue juga nggak tau... Otaknya ditaro dimana coba.”

Dimas terkekeh, “Orang kayak gitu mana punya otak sih, Yo? Kalo punya otak, dia nggak bakalan ngelakuin ini.”

Gio hanya terdiam, tak menanggapi perkataan temannya itu, pikirannya benar benar kacau saat ini, terlebih Syakilla belum menelfonnya atau bahkan mengiriminya pesan. Bukan, Gio bukan tipe yang suka dikabari setiap saat, tapi saat ini, kondisinya masih belum baik, maksudnya, ia tau, bahwa Syakilla masih ingin sendiri, tapi ayo lah, apa hanya mengirimkan sebuah pesan bahwa Syakilla sudah makan malam atau gadis itu akan tidur, bukan masalah yang besar 'kan? Gio hanya ingin memastikan bahwa gadis itu benar benar baik baik saja saat ini.

“Kalo lo mau nyamperin cewek lo, samperin aja,” Gio menoleh pada Dimas yang mulai memasang jas nya kembali.

“Dari tadi lo nggak konsen meskipun lo bilangnya dengerin apa yang gue ucapin.” Rasa bersalah mulai menderanya.

“Gue nggak bermaksud, Dim, sorry.” “Nggak papa elah, santai, kita lanjut besok aja, ini ternyata juga udah malem banget, pantes konsentrasi lo ilang.”

Dimas beranjak dari duduknya, memperhatikan Gio yang kembali menatap kosong pada ponsel, “Kalo ada apa apa, telfon gue, rumah gue terbuka buat lo.” Ucapnya seraya menepuk pelan bahu Gio dan pergi dari sana, meninggalkan pemuda yang masih saja melamun itu sendirian.

Helaan napas terdengar frustasi dari Gio, matanya menutup seluruh wajahnya sebelum mengusapnya dengan kasar. Jantungnya berdegup cepat tak karuan. Ia kalut. Tubuhnya memang berada di ruang private restoran, tetapi pikiran dan jiwa nya, masih berada di depan pintu penginapan Syakilla yang tertutup.

Maka dengan sisa tenaganya, dirinya berjalan, keluar dari ruangan itu dan bergegas menuju tempat dimana ia bisa merasakan ketenangan, dimana ia bisa menghapus segala pikiran negative yang mendera dirinya.

Ya, setidaknya, ia bisa memastikan bahwa sosok yang ia cintai baik baik saja.

Matanya melihat satu persatu nomor pintu hotel, hingga ketika ia mendapati pintu kamar hotel bernomor 65, dirinya langsung membuka pintu tersebut. Matanya menatap sekeliling, sedikit berantakan dan ada beberapa serpihan kaca.

“G-gio?” lirihan suara yang terdengar, membuat pemuda itu tersadar dari paniknya, ia melangkah lebih cepat dan mendapati Syakilla sudah berdiri menghadapnya dengan rambut serta bajunya yang kusut.

“Gio..” sebuah pelukan yang cukup erat dirasakan Gio, tubuhnya sedikit limbung ke belakang saat Syakilla dengan tiba tiba nya memeluk pemuda itu.

Canggung? Pasti, namun melihat betapa hancurnya Syakilla saat ini, membuat Gio dengan buru buru mengusap dan membalas pelukan Syakilla tak kalah eratnya.

“I'm scared...”

“Hey... Don't worry, i'm here...”

Syakilla menangis, meraung, rematannya pada kaos abu abu milik Gio semakin kencang,

“I-iーi killed him, Gio..” Gio hanya mendengarkan raungan ketakutan dari gadis yang ia peluk, sesekali membisikkan kalimat kalimat penenang yang ia sudah tau bahwa itu semua tidak ada gunanya.

“Dia mauーhksーnyentuh aku, a-aku ngasih perlawananーhks, t-terus dia maksa aku terus, Gio...” “A-aku takut... T-terus aku nggak sengaja m-mukul dia make vas bunga.”

Syakilla masih bercerita dengan putus putus sebab tangis yang hebat, sedangkan Gio? Ia mendengar cerita gadisnya itu seraya memandang tubuh pria yang tergeletak di samping kasur king size hotel tersebut.

“I killed himーAku pembunuh, Gio...”

“Shhh, don't say that, Syakilla, don't worry, ok?” Gio melepaskan pelukannya perlahan, matanya menatap mata merah nan berair Syakilla, mengusap pipi tembam gadis itu perlahan, lalu tersenyum lembut dengan tangan yang mengusap dahi serta rambut yang menutupi setengah mata gadis itu dengan perlahan juga.

“Hey, listen to me,” kedua tangannya ia bawa untuk menyentuh kedua pipi Syakilla dengan ibu jari yang masing masing mmengusap pipi basah gadis itu.

“You save with me, kamu nggak perlu khawatir tentang itu, berhenti untuk nyalahin diri sendiri karena kamu nggak sepenuhnya bersalah, Syakilla. Kamu melakuka perlawanan, dan kamu sudah hebat untuk bisa melawan seseorang yang mau nyentuh kamu,” Gio kembali tersenyum diakhir kalimat.

“T-tapi dia meninggalー” “Is he?” Ia kembali memeluk Syakilla. “Coba saya periksa dulu keadaan dia,” Gio melepas pelukannya dan merapihkan rambut Syakilla yang berantakan sejenak.

“Dia belum tentu meninggal, Syakilla.” “Vas bunga yang kamu pukul ke dia itu, terbuat dari plastik, tapi dia kokoh, buktinya dia nggak pecah, kan?”

Syakilla mengikuti arah mata Gio yang menatap vas bunga, tergeletak beberapa centi dari pria yang tergeletak dengan tengkurap itu.

“Saya mau ngecek dia dulu, kamu tunggu sini, ya?” Syakilla hanya terdiam, namun ia perlahan melepaskan cekalan pada kaos Gio. Lantas, pemuda itu dengan segera melangkah mendekati pria yang terbaring tak sadarkan diri itu. Membalikkan tubuh yang sedikit gempal, dan mengamati setiap lekuk wajah milik pria brengsek itu.

Menyadari sesuatu, Gio kembali menatap Syakilla yang masih sesenggukkan, “Is he...?” seolah tau kemana arah pertanyaan Syakilla, gadis itu mengangguk sebagai jawaban.

“Ya, d-dia orang yang waktu itu di hotel,” “Waktu pertama kalinya kita ketemu.”

Langkahnya terhenti begitu saja saat matanya menangkap sosok yang saat ini sedang ia hindariーGionino Baskara.

Berulang kali ia menggumamkan kata kata sial hingga tanpa sadar, seseorang yang ia hindari mati mati an itu sudah berada dihadapannya, memasukkan ponsel yang sedari tadi ia mainkan ke dalam saku celana

“Syakilla?” “ANJING! Ehーfuck....”

Gio terkekeh pelan sebelum menyadari betapa merahnya pipi gadis dihadapannya itu, membuat alisnya bertaut, “Syakilla, kamu sakit?”

“N-nggak! K-kata siapa gue sakit? Gak usah sok tau deh!” “Bukan gituー” “Apa?!”

Gio mengulum bibir bawahnya sekilas, “Pipi kamu merah, kayaknya kamu deman.”

Kalau bisa berteriak, Syakilla sepertinya sudah berteriak sedari tadi, memaki dirinya sendiri mengapa ia tampak memalukan dihadapan calon suamiーwhat the fuck she just thinking?????!!!!!

“Saya panggilin dokter, yaー” “Gak perlu!” Jawabnya cepat, netranya dengan cepat mengalihkan pandangannya saat tak sengaja bertemu tatap dengan pemuda dihadapannya itu.

Ia bisa merasakan tatapan khawatir dari Gio sebenarnyaーbutーwho cares??! yang Syakilla ingin lakukan hanyalah pergi dari sini dan tidak bertemu lagi dengan sosok dihadapannya ini karenaーia berani bersumpah bahwa kini ia benar benar malu.

Tidak ada konteks yang spesifik mengapa ia bisa merasakan malu yang amat luar biasa ini, pernyataan Gio terakhir kaliーyang sebenarnya biasa sajaーsepertinya adalah alasan mengapa Syakilla bisa seperti ini.

Ok, bisa disimpulkan bahwa sebenarnya, Syakilla bukan merasakan rasa malu, tapi dia benar benar SALAH TINGKAH! Akui saja bahwa gadis itu memang terlihat kekanakan dan berlebihan, karena pada dasarnyaーia tidak pernah diperlakukan seperti ituー i mean, meskipun 'perkataan' Gio belum benar benar dibuktikan oleh pemuda itu, tapi efek yang berdampak pada Syakilla benar benarーhahhh, sudahlah, intinya gadis itu sangat berlebihan.

“Syakilla?”

Lagi lagi ia terkejut, demi neptunus bikini bottom, Syakilla benar benar merasakan ada yang aneh dengan dirinya sejak ia sadar bahwa dirinya dan the fuckin guy in front of her ini akan menikah.

“Saya antar ke penginaー” “Gue mau ketemu Bunda.” putusnya dengan cepat seraya meninggalkan Gio yang membatu, mengamati gadis itu melewatinya tanpa menoleh lagi kearahnya.

“Gue ada salah apa gimana?”


“Tadi Ayah mu bilang kalo kamu mau nikah sama Gio, itu beneran, sayang?”

Syakilla hanya tersenyum simpul sebagai jawaban, Bunda nya ini baru saja siuman setelah tidak sadarkan diri selama 3 hari terakhir. Tangannya menggenggam tangan rapuh yang lebih tua, mengusap punggung tangan tersebut dengan ibu jari, berulang kali, mengusapnya dengan pelan, dan menatapnya dengan lembut. Penuh kehati hatian seolah itu adalah benda yang sangat rapuh.

“Cepet sembuh, Bunda...”

Suara pintu kamar yang terbuka, tak membuat Syakilla menoleh untuk melihat siapa seseorang dibelakangnya, ia masih sibuk menatap tangan yang menurutnya sudah rapuh itu.

“Makan dulu, Ma.”

Syakilla bisa dengan mudah menebak siapa seseorang dibelakangnya kini, jantungnya kembali berdegup cepat, ia gugup kembali, namun, ia berusaha menahannya sebisa mungkin, mencoba untuk memperlihatkan bahwa dirinya baik baik saja. Cukup kejadian di depan kamar rumah sakit yang membuat ia malu setengah mati.

“Dari mana aja, Gio..?” yang ditanya melirik sekilas pada Syakilla yang menunduk dengan tangan yang masih mengusap punggung tangan Diana.

“Ke kafe bentar,” pemuda itu menarik kursi di sebelah kiri ranjang rumah sakit, tepat diseberang Syakillaーyang masih menunduk.

“Gio suapin, ya?” Diana menggeleng dengan cepat, tangannya yang sedari tadi di genggam dan diusap oleh Syakilla, ditarik begitu saja, memilih untuk mengusap kepala Gio sekilas tanpa sadar bahwa perbuatannya itu membuat sang empu spontan mendongak, membuat Syakilla, lagi lagi menatap netra yang masih saja ia hindari.

“Mama bisa makan sendiri, Gio, kamu kira Mama ini udah tua banget apa, sampai di suapin segala.” Kekehan pelan menjadi akhir dari kalimat itu, Diana menatap kedua anaknya secara bergantian.

“Jadi,” “Sudah sampai mana masa pendekatan kalian, Gio, Killa?”


Asap vape mengepul di udara, mengikuti arah angin sampai dirinya ikut melebur diantara angin yang bergerak.

“Wangi.” Gio menoleh, menatap Syakilla yang sedang memejamkan matanya sebelum ikut menatap dirinya, “Wangi vape lo rasa strawberry, ya?”

Gio terdiam sejenak, tubuhnya bergerak mencari posisi ternyaman, mengistirahatkan kedua lengannya bertumpu diatas beton pembatas rooftop rumah sakit,

“Iya,” “Mau coba?”

Syakilla berkedip pelan, netranya menatap vape yang diulurkan oleh pemuda berkaos hitam itu, “Boleh?”

Hening, hanya suara samar kendaraan dan angin menjadi alunan musik diantara dua insan tersebut.

Gio kembali menarik vape yang ia ulurkan, menyesapnya dalam dalam sebelum mematikan rokok elektrik tersebut dan menyimpannya pada saku celana jeansnya.

“Jangan,” “Hm?” “Jangan sekali kali nyoba buat nge-vape.”

Gadis dengan rambut yang dikucir asal-asalan itu tertawa pelan sebelum membalik badannya, memilih untuk menyandarkan punggungnya pada beton pembatas.

“Tadi lo yang nawarin gue, mau nyoba apa nggak.”

Gio mengikuti posisi Syakilla, “Saya cuma basa basi.”

Keduanya terkekeh, memperhatikan rooftop rumah sakit yang lebih bersih dibandingkan dengan rooftop sekolahan yang terlihat kumuh.

Tadi, selepas keduanya menemani Diana memakan makan malamnya, Gio mengajak Syakilla untuk berbicara berdua dengannya. Awalnya gadis itu memang menolak ajakan pemuda yang kini berstatus 'calon suami-nya' itu, namun ketika ia lupa, bahwa saat itu, keduanya masih se-ruangan dengan Diana dan membuat perempuan paruh baya itu ikut membujuk Syakilla, dan yaaa, berakhirlah mereka disini, rooftop rumah sakit.

Merasa canggung, Syakilla berdeham pelan, “Pacar lo udah tau tentang kita?”

Gio menoleh, “Kita?”

“M-maksudnya, t-tentang perjodohan gue sama lo.” Syakilla menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lagi lagi Gio membuatnya salah tingkah, gadis itu terus menerus menatap sepatu nya sendiri, terkadang juga mengayunkan kakinya seolah sedang menendang sesuatu dibawah sana.

Cukup lama keduanya terdiam, tak ada jawaban dari Gio yang membuat Syakilla mendongak dan melihat Gioーtakut takut kalau ia di tinggalkan sendiri di rooftop, namun siapa sangka? Justru tindakannya itu mampu membuat ia sesak napas dengan jantung yang berdegup cepat membuat ia menelan salivanya dengan susah saat ternyata, Gio sudah mengikis jarak antara mereka, tidak terlalu dekat sebenarnya, namun pemuda yang memilih untuk menghadapkan tubuhnya disamping Syakilla dengan tatapan yang sulit diartikan itu, membuat Syakilla gugup seketika.

Ia sudah mencoba untuk membuang rasa gugupnya tadi, namun kali ini, rasa gugup sialan itu datang kembali, dan gadis itu tidak bisa menyembunyikannya.

“Apa penting?” “H-hah?” “Apa pentingnya pacar saya tau kalau saya mau menikah sama kamu?”

What the ffffuー?!

Rasa gugupnya tiba tiba menguar entah kemana.

“Loーwahh lo brengsek juga ya ternyata?” Gio mengangkat sebelas alisnya sebagai respon. Raut wajah Syakilla sudah tidak ramah atau bahkan terlihat malu seperti tadi.

“Syakilla, sayaー” “Udah gue bilang 'kan, tadi di chat, gue bahkan fine aja kalo lo gak setuju sama perjodohan tiba tiba ini. Loー”

Syakilla menghela napas beratnya, “ーlo coba deh, bayangin jadi pacar lo sekarang. Misalkan lo yang tiba tiba ditinggal nikah sama pacar lo, apa yang lo lakuin? Apa yang lo rasain? Sakit 'kan? Bahkan bisa jadi lo stress akibat ini.” Gadis itu benar benar marah, Gio bisa melihat itu dengan jelas hanya dari tatapan tajam milik gadis itu.

“Syakillaー” “Gue nggak ngerti lagi ya sama jalan pikir cowok cowok brengsek kayak lo gini. Apa susahnya sih, ngasih tau yang sebenernya sama pacar sendiri, gak usah diem diem an terus tiba tiba ngasih undanganー”

“Syakilla... Sayaー” ucapan Gio terhenti saat melihat setetes air mata turun membasahi pipi tembam gadis dihadapannya itu.

“Syakilla, you okay?” Ia berbohong jika tak khawatir dengan Syakilla yang kini sedikit sesenggukkan.

“Syakillaー” “Bilang yang jujur sama pacar lo kalo lo mau nikah atas dasar dijodohin. Atau kalo lo mau, batalin aja perjodohan ini, gak penting juga.”

“Ini penting.” Ralat Gio membuat Syakilla semakin menajamkan tatapannya.

“Apa pentingnya dari pernikahan hasil dijodohin dan ngerusak hubungan orang, Gio? Hm?” “Palingan juga ujung ujung nya cerai.”

“Syakillaー” “Gue capek, mau balik ke penginapan.” Syakilla bergegas meninggalkan Gio yang hanya diam menatap punggung Syakilla yang perlahan menghilang.

“Tadi lo lucu banget sumpah, hahaha! Gue nggak nyangka kalo lo ternyata humoris.” Biru memukul beberapa kali lengan Syakilla seraya tertawa .

“Ya lo kira gue orangnya monoton, apa gimana.” Sahut Syakilla seraya melirik sekitar, “Aqia mana?”

Biru mengusap air mata yang keluar sedikit dari ujung matanya, “Tadi ngobrol sama Sevia sama Kalila, nggak tau dah sekarang kemana, tadi sih di deket tangga darurat.”

Syakilla mengangguk mengerti, “Gue mau nyusulin yang lain dulu, Kil, nanti kalo ketemu Aqia, gue bilangin kalo lo disini.”

Senyuman simpul Biru dapati sebelum ia beranjak dari duduknya, dan meninggalkan Syakilla sendirian disana.

Ia kembali meminum minumannya yang tinggal setengah, jarinya mengetuk beberapa kali pada meja kafe yang letaknya tak jauh dari auditorium, tempat ia seminar beberapa saat yang lalu.

“Syakilla?” Ia menoleh, mendapati seorang pemuda yang tengah tersenyum kearahnya.

Jantungnya berdegup cepat, matanya yang membelalak kaget segera ia netralkan, berusaha terlihat biasa.

“H-hai!” “Gua Gibran, kayaknya nggak perlu kenalan lagi, lu udah kenal gua yak?”

Ya, itu Gibran, pelukis idolanya beberapa bulan terakhir, tentu saja ia sedikit gugupーralat, ia sangat gugup saat ini, bertemu dengan idolanya adalah suatu kelemahan baginya.

Geeezzz, ia benci dirinya yang gugup seperti ini.

“Iya, hehehe.” “Oke, so, lu pesen lukisan di gua, dan...” Gibran membuka tas besar yang ia jinjing, “Udah jadi.”

Jika bisa teriak, Syakilla teriak saat ini juga, bagaimana tidak? Gibran, dihadapannya langsung, memberikan satu buah kanvas yang sudah dibingkai rapih dengan pigora kayu jati yang terlihat benar benar indah, membuat dirinya tidak bisa menahan pekikan bahagianya.

Ia menutup mulutnya kagum, menatap hasil lukisan dari Gibranーidolanya itu.

“I-ini, indah bangetーsumpah, hhhh gue gak bisa berkata kata lagi, Gibーini.”

“Kalo mau teriak, teriak aja kaliー” “Gak bisa! Ini ditempat umum! Yang ada dikira gue sinting lagi!” “Hahahaha!”

Gibran kembali memasukkan lukisannya ke dalam tas, “Nanti kena kopi, basah, kotor, jadi dimasukin aja.”

Syakilla hanya mengangguk, kakinya sedari tadi bergerak tak karuan, ia benar benar senang hari ini, sebab dua hal,

Pertama, lukisannya sudah jadi, dan yang kedua, GioーKENAPA JADI DIA?!

Syakilla menggelengkan kepalanya pelan, sebelum kembali menatap Gibran yang tengah menyesap espresso-nya.

“Uangnya udah di muka, kan ya?” Gibran mengangguk seraya meletakkan cangkirnya diatas meja.

“Tadi lo keren sih, Kil.” “Lo nonton?” Gibran mengangguk, punggungnya ia sandarkan pada kursi kayu kafe.

“Ya kalo gua gak nonton, ngapain gua ada disini?” Syakilla terkekeh pelan, menggigit pelan bibir bawahnya, tanda ia gugup saat ini.

“Temen seminar lo tadi, itu sahabat gua.” “Eh?”

Ternyata benar, tebakan Syakilla tentang hal itu ternyata benar adanya, mereka berdua dekat, bahkan sangat dekat.

“Gue tau kok, kapan hari lo post foto Gio di Twitter lo.”

Gibran terkekeh, “Lo stalking gua?”

Mampus, dua hal yang tidak bisa Syakilla hindari ketika gugup, yang pertama, kakinya terus menerus bergerak, dan yang kedua, mulutnya yang tidak bisa menyaring perkataannya terlebih dahulu sebelum berucap.

“G-gueーlewat di timeline! I-iya, waktu itu lewat di timeline, mutual gue kebetulan nge-like tweet lo.” Gibran tertawa pelan.

“Santai aja napa sih, lo keliatan gugup banget.”

“Emang gugup...” Gumam Syakilla sebelum menghabiskan minumannya.

“Nah, tuh orangnya.” Syakilla mengikuti arah mata Gibran, hingga netranya kini menatap sosok bertubuh jangkung tengah berjalan kearah mejanya.

“Ngapain disini?” Ekspetasinya terlalu tinggi, Gio bukan bertanya atau sekedar basa basi dengan Syakilla, justru pemuda itu langsung menyambar Gibran dengan pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan.

“Ngopi, lu nggak liat gue pesen kopi?” Gio menghela napas nya pelan, matanya melirik Syakilla yang tengah memainkan bibir gelas minuman yang sudah habis dengan jari telunjuknya.

“Mau pesen lagi, Kill?” “Eh? E-enggak! G-gue udah kenyang, hehehe.” Gio mengangguk, dirinya berjalan menuju samping Syakilla sebelum duduk tepat disamping gadis itu.

“Saya duduk disini, ya?”

Syakilla menatap gugup netra almond milik Gio, sebelum mengangguk pelan dan mengalihkan pandangannya saat Gio tersenyum manis kepadanya.

“Hadeeh, alamat gua jadi obat nyamuk disini.” Gerutu Gibran seraya menyesap kopinya.

“E-eh? Y-yaudah, kalo gitu gue pergi aja dehー” “Jangan,” tangannya ditahan saat Syakilla hendak beranjak dari duduknya oleh Gio.

“Disini aja, saya duduk disini mau ngobrol sama kamu, bukan sama beban yang di depan mu itu.”

“Yeeeeh! Bilang aja kalo lo ngusir gua anjrit, Yo.” Gio mengedikkan bahunya, melepas genggamannya pada pergelangan tangan Syakilla saat gadis itu sudah kembali duduk.

“Pergi kalo lo ngerasa gue ngusir.” “IYA! Ini gua mau pergi.” Gibran benar benar beranjak dari duduknya, meletakkan tas kain yang berisi lukisan milik Syakilla.

“Gua taro disini, ya, Kil. Makasih udah jadi client gua yang super duper nggak ribet. Gua balik dulu.”

Syakilla menatap punggung Gibran yang perlahan menjauh, ada sedikit rasa tidak enak hati sebab Gibran diusir begitu saja dengan Gio.

“Gibran udah punya pacar, jadi jangan berharap sama dia.” Ucapan Gio membuat dirinya terlonjak kaget, kepalanya sontak menoleh kearah pemuda itu yang ternyata sudah menatapnya.

“G-gue gak berharap apapun sama dia kok!”

Gio menganggukkan kepalanya, “Saya cuma ngingetin, selama ini Gibran nggak pernah nge-publish hubungan dia sama pacarnya.”

“Kenapa?” “Pacarnya yang nggak mau.” “KENAPA???” kini Gio yang terlonjak kaget saat dengan tiba tiba Syakilla menaikkan intonasi bicaranya.

“M-maksud gue,” “Kenapa ceweknya nggak mau?” Bisik Syakilla yang malah membuat Gio terkekeh pelan.

“Saya juga nggak tau, coba kamu tanya Gibran aja kalo kalian ketemu lagi.” Jawab Gio dengan bisikan juga. Syakilla yang sadar akan hal itu, langsung menegakkan tubuhnya dan berdeham pelan.

“Gibran orangnya humble, beberapa kali dia dapet client yang ujung ujungnya malah confess ke dia.” Gio melanjutkan ceritanya.

“Pacarnya Gibran aneh banget.” “Kenapa aneh?” “Ya, kenapa gak mau di publish hubungan mereka? Padahal ada untungnya kalo di publish, Gibran nggak akan dapet client yang kayak lo ceritain itu.” Gio mengangguk sebagai jawaban.

“Udah berapa lama mereka pacaran?”

“Hmm,” “Saya nggak tau pasti, intinya dari mereka SMA.”

“Buset... Lama juga, ya.” Gio lagi lagi mengangguk.

“LDR juga sekarang.” “BUSEET!”

”...” “Kamu emang sering teriak gini, yaー” “NGGAK! E-eh, m-maksud g-gueー”

“Kill, gue cariin kemana mana, tau nya disini.” Syakilla bernapas lega saat mendengar suara Aqia, ia segera berdiri disamping sahabat sekaligus manajernya yang kini menatapnya bingungーya, seenggaknya, ajak Aqia duduk sebentar baru beranjak dari duduknya.

“L-lo nggak dikasih tau sama Biru emang kalo gue disini?” Kepalanya sedikit menoleh pada Gio saat mendengar ponsel berderingーmilik pemuda itu.

“Nggak ketemu Biru sama sekali gue,” “Lo mau pulang? Asli, gue haus banget, pesen minuman dulu, ya?”

Syakilla menggeleng ribut, “Gue beliin di sbux aja, kita pulang sekarang.” sejujurnya, Syakilla terlanjur malu menghadapi Gio saat ini.

“Gio, gue pulang duーlu...” Ucapannya menggantung, “Yo...? Lo, gak papa?” Ia bisa melihat raut wajah yang tak bisa diartikan dari Gio yang perlahan menurunkan ponsel yang ia genggam, menatap Syakilla yang kini menatapnya bingung.

Tiba tiba pemuda itu beranjak dari duduknya, mengambil jas yang ia sampirkan pada kursi kayu kafe itu. Berjalan melewati Syakilla dan juga Aqia yang masih menatapnya bingung, hingga beberapa langkah selanjutnya, ia berhenti, berbalik arah, menatap Syakilla yang masih menatapnya.

“Bunda masuk rumah sakit, kamu mau ikut?”

Syakilla memejamkan matanya kesal saat lagi lagi Aqia menyentuh dahinya dengan punggung tangan gadis itu, memastikan apakah Syakilla benar benar sembuh dari demam yang tiba tiba menyerangnya kemarin.

“Kalo masih pusing, TM nya diundur lagiー” “Gak usah berlebihan, deh.. Gue beneran udah nggak papa, Aqia...”

Aqia berdecak, ia menyandarkan punggungnya pada kursi mobil, mencari posisi nyaman sebelum menyalakan kendaraan beroda empat itu.

“Gue cuma mastiin kalo lo baik-baik aja, nggak lucu kalo lo disana tiba-tiba pingsan.” Syakilla terkekeh pelan sebelum dirinya ikut menyandarkan punggungnya pada kursi mobil.

“Udah lebih baik ketimbang kemarin, serius deh.” Aqia masih menatapnya ragu, namun, senyuman lembut dari Syakilla, membuat Aqia menghela napas, bagaimanapun, keputusan Syakilla tidak bisa diganggu gugat.

“Kita berangkat, tapi janji sama gue,” “Kalo udah ngerasa ada yang nggak enak dari badan lo, lo harus jujur sama gue.”

Syakilla mengangguk, “Iyaa Aqiaa...”


“Kantornya beneran se-kondusif itu, ya.” Syakilla benar benar kagum terhadap kantor yang ia datangi untuk technical meeting, yang membahas tentang seminar yang akan ia datangi hari rabu besok, bagaimana tidak? Semenjak dirinya masuk ke dalam perusahaan start-up itu, suasana benar benar hening, tidak ada yang berbicara, hanya suara ketikan keyboard yang masing masing dari karyawan kantor tersebut.

Atau gumaman pelan dari beberapa karyawan yang memang sedang mengobrol di sudut ruanganーtempat beberapa snack atau minuman yang telah disediakan oleh perusahaan tersebut.

“Syakillaaa, Aqiaaa, akhirnya kalian dateng.” Itu Sevia, penanggungjawab acara yang akan dibintangi oleh Syakilla.

“Baru dateng atau dari tadi?” “Baru aja kok, Vi.”

“Yaudah, langsung masuk ke ruang meeting, ya. 10 Menit lagi kita mulai meetingnya.”


“Yaa, jadi begitu, mungkin ada pertanyaan dari Syakilla tentang acaranya?”

Syakilla melepas kacamata minusnya yang bertengger manis diatas hidung mancungnya, kepalanya melihat sekilas beberapa panitia acara tersebut.

“Ini cuma aku, yang jadi bintang tamunya?” Tanyanya penasaran.

“Ah, untuk itu, sebenarnya ada 2 bintang tamu, Kil, tapi karena dia lagi ada halangan, jadi nggak bisa dateng, jadi kita bakalan ngadain TM lagi khusus dia, besok.” Jelas Biruーpemuda yang berada di seberang Syakilla, salah satu panitia dalam acara webinar tersebut.

“Gitu...”

“Ada lagi?” Syakilla menggeleng, “Cukup kok, tadi juga udah di sampein sama Aqia beberapa hal buat acara nanti dari aku sama Aqia.”

Semuanya mengangguk mengerti, Sevia lantas segera berdiri, mengakhiri pertemuan mereka dengan beberapa kru yang menjadi panitia dalam acara tersebut.

“Kil,” “Ya, Sevia?” “Kata Aqia lo sakit?”

“Hahaha, iya, kemarin, tiba tiba panas, tapi udah sembuh kok.” “Jaga kesehatan deh, yaa, acaranya h-2 soalnya, ntar kalo lo sakit, siapa yang gantiin lo...” Syakilla tersenyum lebar, tangannya ia gunakan untuk memeluk sejenak tubuh Sevia yang ada dihadapannya itu.

“Iya-iyaaa, gue bakalan jaga kesehatan.”

“Oh iya, emang bintang tamu selain gue siapa sih, Sev? Gue kenal nggak?”

Keduanya terdiam, “M-maksud gue, kalo gue nggak kenal, takut ntar canggung pas acara, mana belum pernah TM bareng kan...”

Sevia tertawa kecil, “Santai ah, gitu aja lo gugup,” Tangannya merangkul Syakilla dari kanan.

“Dia penulis juga kok,” “Oh iya?” Sevia mengangguk.

“Dia penulis, tapi dia juga punya perusahaan penerbit gituu, paham nggak sih? Gitu deh.”

Gadis dengan topi baseball biru itu menganga takjub, “Keren banget, dia penulis terkenal?”

“Kayaknya...? Masalahnya tuh, dia udah lama hiatus, dari kapan, ya? Tahun 2018? Kayaknya, lama kan?”

“Awal gue nulis...” “Terus kenapa diundang?”

“Tulisan tulisannya dulu, selalu best seller, selalu nempatin nomer 1 di toko buku.” “Kalo lo orangnya nyari buku buku yang best seller gitu, kayaknya bakalan tau sih, orangnya siapa.”

Syakilla meringis seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “G-gue kalo beli buku, yaa buku yang penulisnya gue suka...”

“Gue udah nebak sih, hahahaha” “Emang siapa sih, penulis itu?”

“Gionino,” “Gionino Baskara Nugraha, dia suka nulis genre thriller, berbanding balik sama lo yang suka nulis romance.”

narasi •02

___•07

“Apa lagi, Mbak, yang mau di beli?” Adam yang lagi ngedorong trolli noleh ke Athaya yang ternyata lagi sibuk ngeliatin hp.

“Mbak?” “Eh? Apaan, Dam?”

Adam ketawa pelan, “Coba liat catetannya lagi, mau beli apa lagi?”

“O-oh, iya, bentar.” Cewek yang make hoodie abu abu itu langsung ngeliat buku kecil yang daritadi di pegang.

“Ayam, ayam doang, abis ini berarti langsung ke Pak Toni, ya, buat ambil ayam.”

“Biasanya Bapaknya langsung kan, Mbak, yang ngirim?” “Lagi ada hajatan katanya, jadi kita yang ambil.” Adam nganggukin kepalanya buat jawaban.

“Mbak,” “Hmm?”

“Mbak Atha nih deket sama Mas Ezra, ya?” “Deket, sama Tio juga deket, kita temen dari jaman maba, hahaha.”

“Nggak.. Maksudnya tuh, deket dalam artian beda.” “Maksudnya?” “Gebetan gitu lah.”

Athaya diem, tiba tiba pikirannya jadi amburadul pas Adam bilang kayak gitu.

“Keliatan banget, ya, Dam?” “Hah?”

“Sikap gue,” Athaya ngeliat Adam sedikit ngedongak, jarak tinggi mereka nggak jauh beda.

“Sikap gue ke Ezra ngeliatin banget kalo gue suka sama dia?”

Suasana supermarket gak rame, jadi walaupun Athaya ngomong kayak gitu make suara kecil pun, Adam masih bisa denger dengan jelas.

“Hmm, yaaa, lumayan..” Jawaban Adam bikin Athaya ngehela napas.

“Mas Ezra juga keliatan kalo suka sama Mbak.”

“Hah?”

Adam masukin mie instan ke dalem trolli, sebelum dia noleh ke samping, ke arah Athaya yang masih keliatan kebingungan.

Ahh, dia mulai paham situasi yang kayak gini.

Adam ketawa pelan pas nyadar sesuatu, “Mbak Atha nggak sadar kalo Mas Ezra suka juga sama Mbak?

“L-lo ngomong apaan dah.”

“Hahaha, padahal jelas banget loh kalian berdua itu.” Adam nge-bungkukin badannya, sampe muka dia bisa sejajar sama Athaya.

“Tuh, Mbak Atha nih pura pura gak tau, atau emang nggak tau, sih?”

“Gak tau apa?” “Tentang perasaannya Mas Ezra.”

“Jangan bikin gue geer deh, Dam.” “Aku nggak???” Adam ketawa kenceng sambil balik ngedorong trolli buat ke kasir.

“Apalagi pas Jumat kemarin, keliatan banget kalo Mas Ezra cemburu sama aku.”

“Kenapa lo mikir gitu?”

“Dia kalo cemburu kan langsung ngehindar, terus nyebat.”

Athaya diem, dengerin ucapan Adam baik baik.

“Waktu Mbak becanda sama Bang Jo juga, dia diem diem ke rooftop, nyebat sendirian, kebetulan waktu itu aku emang pengen ke rooftop, soalnya mumpung cerah, keliatan sunset nya. Tau tau udah ada Mas Ezra disana, nyebat udah dapet 4 rokok.”

“Pas aku tanyain,” Lanjut Adam sambil naro belanjaannya ke meja kasir.

“Dia bilang lagi sumpek di bawah, rame, gitu.” “Terus aku iseng, 'bukan gara gara mbak athaya becanda berlebihan sama bang jo kan mas?' Eh dia diem, lama, hahaha, terus baru dijawab 'nggak, ngapain juga'.”

“Totalnya 345.600, Mas.” Adam cepet cepet ngeluarin dompetnya, ngasih uang yang udah disebutin sama kasir.

“Aku udah notice Mas Ezra suka sama Mbak dari awal aku masuk kerja, kirain kalian udah pacaran, pas aku tanya Mas Theo, ternyata belum.”

Adam noleh ke Athaya yang ngelamun, “Mbak, coba buka mata Mbak lebar lebar deh, sikap Mas Ezra ke Mbak tuh, beda, dia peduli banget kan sama Mbak?”

“Namanya cowok kalo udah suka sama cewek mah, pasti bakalan peduli banget, Mbak.”

“Tapi, Dam.”

“Ya?”

“Ezra bilang ke gue kalo dia suka sama cewek lain.” Kali ini Adam yang diem, ngeliat Athaya yang udah ngedongak, natep dia.

“Dia bilang, dia suka cewek yang cewek itu aja gue gak kenal siapa dia.”

“Gue rasa, persepsi lo tentang Ezra ke gue salah besar, Dam.” Athaya ngehela napas berat.

“Mbakー” “Ayo dah, ditungguin ama anak anak di kafe. Jadwalnya kita, shift sore.”

“Nggak bisa, buk, Killa ada project dadakan..” “Hmm, sampein salam ke Bunda.”

Pip

Gadis dengan kemeja hitam berlengan panjang yang dilipat hingga atas pergelangan tangan itu menghela napas perlahan, jantungnya sedari tadi berpacu dengan cepat.

Apa yang gue lakuin…

Ia terus menunduk, mengamati sepatu Converse yang melekat elok pada sepasang kakinya.

“Killa.”

Kepalanya mendongak, mendapati Rendra yang masih berpakaian seperti terakhir kali ia lihat.

“Cantik banget.” Killa segera menepis dengan perlahan saat tangan dari pria itu mengusap pipi tembamnya.

“Nolak saya?” “Banyak yang lihat, Pak.” “Emang kenapa? Lagian nggak akan ada yang peduli.” Ucap Rendra yang semakin merapatkan tubuhnya, membuat Killa ingin berteriak meminta pertolongan.

Tangan lelaki itu terus menerus mengusap kedua lengan Killa dengan sensual, ia tau, apa yang tengah diinginkan oleh lelaki bajingan ini, maka dari itu, ketika tangannya ditarik paksa untuk mengikuti langkah Rendra, Killa memberontak kecil.

Sampai kapanpun, kekuatan Killa tidak ada tandingannya dengan pria berumur 40 tahunan itu.

Terbuka, mengepal, terbuka, mengepal. Tangan kanannya terus menerus melakukan seperti itu, seolah mengirimkan sinyal pertolongan kepada semua orang yang berada pada lobby hotel ini.

Langkahnya terhenti bersamaan Rendra yang membalikkan tubuhnya secara tiba tiba.

“Jangan lelet, bisa? Kita udah lama nggak ketemu, saya kangen sama kamu.” Killa menatap takut pada mata tajam itu.

“Terakhir kali saya ajak kamu kesini, gagal karena kami cramps dan pingsan. Sekarang? Kamu lelet. Ah.. Apa pingsan waktu itu cuma akal akalan kamu biar lepas dari saya, hm?” Rendra semakin mendekatkan dirinya pada Killa yang menunduk takut dengan tubuh yang bergetar.

“Kamu nggak lupa kan, apa yang saya pegang tentang kamu? Mau saya sebarin? Hm?” “P-pak, s-sayaー”

“Nurut, jalannya yang cepet, saya udah nggak sabar.” Tangannya hendak ditarik dengan paksa sebelum sebuah tangan lainnya menepuk pundak gadis itu.

“Kamu ngapain disini?” Keduanya berbalik, menatap pemuda dengan kemeja putih dibelakangnya.

“H-huh?” “Ini siapa? Atasan kamu?”

Syakilla yang masih linglung, melirik sekilas pada Rendra sebelum menganggukkan kepalanya kepada sosok pemuda yang kini berada di samping kanannya.

“Ahh gitu, btw, mama sering nanyain kamu, katanya nggak pernah ke rumah lagi, kenapa?”

“Anda siaー” “Atau kamu mau ketemu sama mama? Mama kebetulan ada di lantai atas, bentar lagi turun.” Pemuda itu memotong pertanyaan Rendra yang semakin membuat pria tua itu menggeram kesal.

“Nah itu dia! Ayo, mama udah kangen banget sama kamu.” Seru pemuda itu seraya menggenggam tangan kanan Killa.

Matanya menatap Rendra yang sudah menahan amarah, “Saya permisi dulu, ya, Pak.”

“Ayo.” Killa bergerak mengikuti pemuda disampingnya, menatap takut pada Rendra sejenak, sebelum dirinya benar benar meninggalkan lelaki tua itu.

Dalam hatinya, ia terus menerus mengucapkan kata syukur sebab datangnya pemuda itu. Dirinya terus menerus menunduk, hingga tak sadar bahwa ia sudah masuk ke dalam mobil pemuda yang tak di kenalnya itu.

“Kamu bakalan disini terus, atau mau saya antar ke rumah kamu?”

“H-huh?”

“Nama saya Gio, maaf tiba tiba sok kenal sama kamu, dari awal kamu di bawa sama bapak itu, saya ngeliat kamu ketakutan.”

“Terus nggak sengaja liat tangan kamu, kaya ngasih kode 'minta pertolongan'.”

Gio yang berada di kursi kemudi itu memiringkan tubuhnya sedikit, hingga Killa bisa menatap wajah tampan pemuda dihadapannya ini dengan jelas.

“U okay?” “Y-ya…” Killa kembali menunduk. “Makasih udah nyelametin saya.”

“Hah…” Pemuda itu menghela napasnya sejenak, “Tindakan saya bener kan berarti?” Anggukan samar didapatkan Gio.

Gio terus menerus menatap gadis yang kini memainkan ujung kemejanya sendiri, sisi wajahnya sedikit tertutupi oleh rambut yang menjuntai.

“Kamu Syakilla, ya?” Sontak, gadis itu mendongak, membelalak kaget saat Gio mengucapkan namanya.

“K-kamu tau dariー” ucapannya terhenti saat ia menyadari sesuatu.

G-gue kan penulis… D-dia..? Jangan jangan fans gue??!!!

“Ada foto kamu di rumah.” “K-kok?”

Gio terkekeh pelan, “Ini efek kita gak pernah ketemu kayaknya, ya?”

“Saya Gio, Gionino Baskara Nugraha, anaknya Diana Sastra Nugraha, orang yang sering kamu panggil bunda Diana.” Syakilla berbohong jika dirinya tidak terkejut. Tangannya menutup mulutnya yang menganga dengan mata yang membelalak kaget, menatap Gio yang tersenyum tipis diantara remangnya lampu mobil.

“Pantes pas saya lihat kamu, mukanya familiar, taunya Syakila Meira.”

Gio menegakkan tubuhnya kembali, dan mulai menyalakan mobilnya, “Saya antar pulang, ya? Kamu kayaknya masih syok perkara tadi.”

__________

“Makasih, Gio.” “Sama sama.” Pemuda itu memasukkan kedua tangannya pada saku celana.

“Apart kamu rapih, ya.” “Ya…Kayak apa yang lo liat.” Gio yang awalnya melihat ruang sekitar, seketika menatap Killa yang duduk diatas sofa.

“Perasaan tadi kamu make saya-kamu, kenapa sekarang berubah?”

Tentu saja, hal itu mampu membuat Killa gelagapan dan berdiri secara tiba tiba, “Y-ya kanーtadi gue belum kenal lo siapa.”

“Kalo sekarang, udah kenal?” Syakilla mengangguk.

“Hmm,” Matanya melirik tangan Killa yang masih saja meremat ujung kemejanya sendiri.

“Kalー” “Mau minum? G-gue buatin jus, ya?” “Gak usah, Killa, saya langsung pulang aja.”

“Serius?” Gio mengangguk. “Kamu mending istirahat aja, masih gemsteran tuh kamu.” Pemuda itu berjalan mendekat, mengulurkan tangannya, mencoba untuk bersalaman dengan gadis yang ternyata anak dari sahabat orang tuanya itu.

“Saya pulang dulu.” “S-sekali lagi makasih, Gio.”

Selepas pemuda itu hilang dibalik pintu yang tertutup, Killa terduduk di atas lantai yang dingin, punggung nya bersandar pada sofa yang berada di belakang nya, kakinya ia lipat ke atas, dengan lutut sebagai sandaran keningnya, sebelum ia meraung, menangisi apa yang telah ia alami tadi.