Too good : narasi viii
Pemuda dengan rambut yang disisir ke belakang itu, menatap datar pada sosok yang sedari tadi meronta, meronta untuk dilepaskan pada rantai besi yang melilit kedua pergelangan tangan serta kakinya itu.
“Mau sampai kapan Anda berusaha melepas rantai itu? Jangan terlalu memaksa, rantai itu nggak akan lepas.”
“Ck! Kamu siapa berani berani nya ngelakuin ini ke saya? Hah?! Terus, dimana jalang itu?! DIMANA JALANG ITU?!!!”
Mata yang sedari tadi menyorot datar, berubah menjadi amarah, tangannya yang menggenggam gelas yang terisi setengah wine itu, perlahan meletakkan gelas tersebut sebelum berjalan mendekati pria yang tengah berbaring diatas ranjang dengan kedua kaki dan tangan diikat dengan rantai.
“Ngomong apa barusan?” Dengan napas yang tersengal, pria itu membalas tatapan tajam pemuda yang seperti nya sudah tersulut emosi.
“Jalang itu, dimana jalang itu?! Pasti dia yang bikin saya kayak giniーAKH!”
“Sekali lagi Anda nyebut calon istrinya dengan sebutan seperti itu, saya nggak akan berpikir panjang buat ngebunuh Anda habis habis an.” sulutnya dengan tangan yang mencengkram rambut pria itu.
“Dan jangan sekali kalinya bicara tentang calon istri saya menggunakan mulut kotormu itu.”
“Kalian nggak setara.”
“Gio.” Matanya terpejam sejenak, berusaha menetralisir amarahnya sebelum melepas cengkraman kuat pada rambut Rendra.
Dimas yang melihat itu, melirik sekilas pada Rendra yang terlihat kesakitan sebab bekas cengkraman Gio.
“Lo nggak seharusnya kayak gitu.”
“Dia duluan.” Elak Gio seraya membenarkan letak jas nya, ia membalikkan tubuhnya, melangkah pergi meninggalkan pria yang sangat ia benci dengan diikuti Dimas yang membawa beberapa lembar kertas ditangannya.
“Jadi?”
Dimas menutup pintu, mengintip sejenak di dalam kamar Rendra, “Kita nggak bisa nyekap dia lama lama.”
Alis Gio bertaut tak mengerti, “Kita harus ngelepasin dia.”
“Lo gila?!” Teriak Gio tak terima, napasnya kembali tersengal, berusaha menahan emosi yang tiba tiba kembali meluap.
“Kita nggak bisa kayak gini terus, Yo.”
“Dan ngelepasin pria brengsek itu di luaran sana?! Terus ngasih kesempatan buat nemuin calon istri gue lagi? Iya?!”
“Kita nggak akan ngebiarin dia ketemu sama Syakilla.”
“Kita nggak bisa nebak itu semua, Dim! Dia orang gila! Semua hal bisa dia lakuin buat bales dendam!”
Dimas memijat pangkal hidungnya, melepas kacamata yang bertengger manis diatas hidung mancungnya.
“Dan lo mau kita dituduh jadi penculik?” Ucap Dimas dengan nada rendah.
“Kalo kita terus terusan nyekap dia, pasti orang orang bakalan curiga kalo Rendra di culik, terus bikin laporan orang hilang.”
Gio terduduk dengan kedua telapak tangan yang menyembunyikan seluruh wajahnya.
“Yo, ini masih sehari kita nyekap dia, orang orang nggak akan nyadar, dan Rendra nggak bakalan ngelaporin kita.”
Dimas menyisir rambutnya kebelakang, “Karena apa?”
“ーkarena dia nggak ada barang bukti buat ngelaporin kita ke polisi. Dan gue yakin walaupun dia punya barang bukti, dia nggak bakalan berani buat ngelaporin ini ke polisi, karena dia juga ngelakuin kejahatan.”
Dimas menatap gerak gelisah Gio yang masih menutup wajahnya, “Dia punya rekaman Syakilla.”
“And now he doesn't have it.”
Gio menatap bingung pada Dimas yang menatapnya dengan senyum kecil, “Maksudnya?”
“Lo tau kalo kemarin gue sama beberapa anak buah gue ke Jakarta,”
Ada sebuah jarak sebelum Dimas kembali berucap, “Gue geledah isi rumah dia.”
“Kok lo bisa tau rumahnya?” “Apa yang nggak bisa seorang Dimas lakuin?” Pemuda itu beranjak dari duduknya, menghadap Gio yang mendongak.
“What Dimas wants, he get it.”
Dimas mengeluarkan sebuah flashdisk kecil berwarna merah hitam, “Semua rekamannya udah ada disini.”
“Bukan cuma punya Syakilla, punya Aqia dan beberapa yang lain, ada disini semua.”
Gio membelalak kaget hingga dirinya sontak beranjak dari duduknya, merebut flashdisk itu dan menatap tajam pemuda dihadapannya.
“Lo ngeliat?” “Hah?” “Lo ngeliat videonya?”
Dimas yang tercengang akan pertanyaan Gio seketika memukul bahu temannya itu, “Goblok! Bisa bisanya lo mikir gue ngeliatin video video itu.”
Helaan napas ia keluarkan, “Gue nggak se-brengsek itu, Yo.”
Gio memejamkan matanya, ia kembali terduduk dengan kepala yang bersandar pada dinding, “Lo yakin udah ambil semua rekaman itu?”
Yang ditanya mengangguk, “Dia cukup kolot buat jadi kepada direksi walaupun di umurnya yang masih 40-an awal,” Dimas kembali duduk disamping Gio, “Dia nyimpen semuanya di satu device doang.”
“Yakin?” “Iya.” “Lo udah ngecek gdrive nya? Atau ada akun khusus buat nyimpen semua video video itu?”
Dimas lagi lagi mengangguk, “Lo bisa percaya sama gue, Yo, gue terjun ke dunia kayak gini udah cukup lama.”
“Lagian bukan cuma file nya aja yang gue pindahin,”
“Dia nyimpen semuanya di laptop,” lanjut Dimas seraya mengedikkan bahunya. “Cukup gampang buat gue ambil bukti-bukti kesalahan dia.”
“Lo nggak bisa ngelakuin itu semua tanpa surat perintah, Dim.”
Dimas mengangguk paham, “Dan dia bakalan ngerti sama itu semua? Nggak akan.” Dimas menepuk bahu kiri temannya itu dua kali.
“Gue udah bilang kan? Dari cara dia nyimpen semua video nggak senonoh itu, udah keliatan kalau dia itu kolot.”
“Lagian nih kalo gue ngaku ke Rendra gue detektif, nggak bakalan berani sih.”
Gio menatap Dimas dengan seksama sebelum menganggukkan kepalanya lemah, “Gue cuma khawatir aja.”
“Gue tau, lo bisa percaya sama gue, asal,”
“Asal apa?” “Bayaran gue mahal.”
Terkekeh pelan, Gio mengangguk sebagai jawaban, “Setelah semuanya selesai, gue kirim uang sesuai dengan nominal yang lo mau.”
“Abang!” Syakilla segera memeluk lelaki yang lebih tua 4 tahun dari nya, membuat lelaki yang bernama Deka itu, seketika tersenyum dan membalas pelukan dari yang lebih kecil tak kalah eratnya.
“Pasti capek ya, Bang?”
Deka mengangguk menyetujui, “Banget, tapi ngeliat kamu baik baik aja, capeknya Abang jadi ilang gitu aja.”
“Yeeeh, gombaaal!” Keduanya tertawa, hingga beberapa saat setelahnya, Aqia yang barusaja keluar dari kamar mandi, membuat kedua adik kakak itu menghentikan tawanya.
“Oh! Ini temen Syakilla, Bang, sekaligus manajer Killa, hehehe.”
“Aqia,” “Deka.” Keduanya menjabat tangan sejenak, lalu saling tersenyum.
“Kalian nggak pernah ketemu, yaa?” “Iya, padahal udah berapa lama jadi manajernya Killa?”
“4 tahunan lebih kayaknya, gue juga temen Killa pas di k kampus.” Deka mengangguk.
“Lo emang ke Indramayu bareng adek gue apa gimana?”
Aqia menggeleng sebelum menjawab, “Gue kemarin di Jakarta, masih ngurus sesuatu tentang penerbitan buku baru nya Killa, tapi kemaren sore, gue di telfon sama bu Zara kalo Killa ngalamin kejadian yang nggak ngenakin, jadi yaaa, gue langsung tancap gas kesini”
Deka mengangguk sebagai jawaban, matanya mencari keberadaan yang lain.
“Katanya sama Gio, mana?” “Oh, ituuu, Gio lagi ngurus orang yang kemarin.”
Aqia menatap Syakilla, “Gio keluar?” Anggukan kepala menjadi jawaban pertanyaan dari Aqia.
“Kenapa? Lo mau nitip?” Tanya Syakilla saat sahabat sekaligus manajernya itu melamun.
“Nggak kok, nanya aja.” Jawab Aqia asal, kepalanya menunduk, membuat Syakilla semakin bertanya-tanya.
Deka sudah masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
“Qiy, lo nggak papa?” “Gue nggak papa, emang kenapa?”
Syakilla menggelengkan kepalanya pelan, “Ngomongin Gio, lo nggak risih kan tadi ada Gio? Atau Abang gue kesini?”
“Ya enggak, emang kenapa? Lagian ngapain juga gue risih, mereka nggak bakalan ngapa-ngapain kan?”
“Gak gituuu,” Syakilla menghela napas, “Dari pas lo abis dari Indomaret, pas Gio bangun dari tidurnya, lo diem gitu… Gue takut lo risih ada Gio tadi…”
Gue bukan risih, Killa, tapi gue takut. Takut kalau keputusan gue buat speak up itu adalah pilihan yang salah.
“Gue nggak papaaa yaelaaah, tenang aja, lo terlalu khawatir sama hal yang abu abu.” “Ck, gue kan cuma mau menjaga perasaan lo.”
“Cih, menjaga menjaga,” Aqia mencibir pelan, “Btw, Abang lo cakep juga.”
“Lo mah! Semuanya aja lo embat!” “Hahahahah!”