Too good : narasi III
“Tadi lo lucu banget sumpah, hahaha! Gue nggak nyangka kalo lo ternyata humoris.” Biru memukul beberapa kali lengan Syakilla seraya tertawa .
“Ya lo kira gue orangnya monoton, apa gimana.” Sahut Syakilla seraya melirik sekitar, “Aqia mana?”
Biru mengusap air mata yang keluar sedikit dari ujung matanya, “Tadi ngobrol sama Sevia sama Kalila, nggak tau dah sekarang kemana, tadi sih di deket tangga darurat.”
Syakilla mengangguk mengerti, “Gue mau nyusulin yang lain dulu, Kil, nanti kalo ketemu Aqia, gue bilangin kalo lo disini.”
Senyuman simpul Biru dapati sebelum ia beranjak dari duduknya, dan meninggalkan Syakilla sendirian disana.
Ia kembali meminum minumannya yang tinggal setengah, jarinya mengetuk beberapa kali pada meja kafe yang letaknya tak jauh dari auditorium, tempat ia seminar beberapa saat yang lalu.
“Syakilla?” Ia menoleh, mendapati seorang pemuda yang tengah tersenyum kearahnya.
Jantungnya berdegup cepat, matanya yang membelalak kaget segera ia netralkan, berusaha terlihat biasa.
“H-hai!” “Gua Gibran, kayaknya nggak perlu kenalan lagi, lu udah kenal gua yak?”
Ya, itu Gibran, pelukis idolanya beberapa bulan terakhir, tentu saja ia sedikit gugupーralat, ia sangat gugup saat ini, bertemu dengan idolanya adalah suatu kelemahan baginya.
Geeezzz, ia benci dirinya yang gugup seperti ini.
“Iya, hehehe.” “Oke, so, lu pesen lukisan di gua, dan...” Gibran membuka tas besar yang ia jinjing, “Udah jadi.”
Jika bisa teriak, Syakilla teriak saat ini juga, bagaimana tidak? Gibran, dihadapannya langsung, memberikan satu buah kanvas yang sudah dibingkai rapih dengan pigora kayu jati yang terlihat benar benar indah, membuat dirinya tidak bisa menahan pekikan bahagianya.
Ia menutup mulutnya kagum, menatap hasil lukisan dari Gibranーidolanya itu.
“I-ini, indah bangetーsumpah, hhhh gue gak bisa berkata kata lagi, Gibーini.”
“Kalo mau teriak, teriak aja kaliー” “Gak bisa! Ini ditempat umum! Yang ada dikira gue sinting lagi!” “Hahahaha!”
Gibran kembali memasukkan lukisannya ke dalam tas, “Nanti kena kopi, basah, kotor, jadi dimasukin aja.”
Syakilla hanya mengangguk, kakinya sedari tadi bergerak tak karuan, ia benar benar senang hari ini, sebab dua hal,
Pertama, lukisannya sudah jadi, dan yang kedua, GioーKENAPA JADI DIA?!
Syakilla menggelengkan kepalanya pelan, sebelum kembali menatap Gibran yang tengah menyesap espresso-nya.
“Uangnya udah di muka, kan ya?” Gibran mengangguk seraya meletakkan cangkirnya diatas meja.
“Tadi lo keren sih, Kil.” “Lo nonton?” Gibran mengangguk, punggungnya ia sandarkan pada kursi kayu kafe.
“Ya kalo gua gak nonton, ngapain gua ada disini?” Syakilla terkekeh pelan, menggigit pelan bibir bawahnya, tanda ia gugup saat ini.
“Temen seminar lo tadi, itu sahabat gua.” “Eh?”
Ternyata benar, tebakan Syakilla tentang hal itu ternyata benar adanya, mereka berdua dekat, bahkan sangat dekat.
“Gue tau kok, kapan hari lo post foto Gio di Twitter lo.”
Gibran terkekeh, “Lo stalking gua?”
Mampus, dua hal yang tidak bisa Syakilla hindari ketika gugup, yang pertama, kakinya terus menerus bergerak, dan yang kedua, mulutnya yang tidak bisa menyaring perkataannya terlebih dahulu sebelum berucap.
“G-gueーlewat di timeline! I-iya, waktu itu lewat di timeline, mutual gue kebetulan nge-like tweet lo.” Gibran tertawa pelan.
“Santai aja napa sih, lo keliatan gugup banget.”
“Emang gugup...” Gumam Syakilla sebelum menghabiskan minumannya.
“Nah, tuh orangnya.” Syakilla mengikuti arah mata Gibran, hingga netranya kini menatap sosok bertubuh jangkung tengah berjalan kearah mejanya.
“Ngapain disini?” Ekspetasinya terlalu tinggi, Gio bukan bertanya atau sekedar basa basi dengan Syakilla, justru pemuda itu langsung menyambar Gibran dengan pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan.
“Ngopi, lu nggak liat gue pesen kopi?” Gio menghela napas nya pelan, matanya melirik Syakilla yang tengah memainkan bibir gelas minuman yang sudah habis dengan jari telunjuknya.
“Mau pesen lagi, Kill?” “Eh? E-enggak! G-gue udah kenyang, hehehe.” Gio mengangguk, dirinya berjalan menuju samping Syakilla sebelum duduk tepat disamping gadis itu.
“Saya duduk disini, ya?”
Syakilla menatap gugup netra almond milik Gio, sebelum mengangguk pelan dan mengalihkan pandangannya saat Gio tersenyum manis kepadanya.
“Hadeeh, alamat gua jadi obat nyamuk disini.” Gerutu Gibran seraya menyesap kopinya.
“E-eh? Y-yaudah, kalo gitu gue pergi aja dehー” “Jangan,” tangannya ditahan saat Syakilla hendak beranjak dari duduknya oleh Gio.
“Disini aja, saya duduk disini mau ngobrol sama kamu, bukan sama beban yang di depan mu itu.”
“Yeeeeh! Bilang aja kalo lo ngusir gua anjrit, Yo.” Gio mengedikkan bahunya, melepas genggamannya pada pergelangan tangan Syakilla saat gadis itu sudah kembali duduk.
“Pergi kalo lo ngerasa gue ngusir.” “IYA! Ini gua mau pergi.” Gibran benar benar beranjak dari duduknya, meletakkan tas kain yang berisi lukisan milik Syakilla.
“Gua taro disini, ya, Kil. Makasih udah jadi client gua yang super duper nggak ribet. Gua balik dulu.”
Syakilla menatap punggung Gibran yang perlahan menjauh, ada sedikit rasa tidak enak hati sebab Gibran diusir begitu saja dengan Gio.
“Gibran udah punya pacar, jadi jangan berharap sama dia.” Ucapan Gio membuat dirinya terlonjak kaget, kepalanya sontak menoleh kearah pemuda itu yang ternyata sudah menatapnya.
“G-gue gak berharap apapun sama dia kok!”
Gio menganggukkan kepalanya, “Saya cuma ngingetin, selama ini Gibran nggak pernah nge-publish hubungan dia sama pacarnya.”
“Kenapa?” “Pacarnya yang nggak mau.” “KENAPA???” kini Gio yang terlonjak kaget saat dengan tiba tiba Syakilla menaikkan intonasi bicaranya.
“M-maksud gue,” “Kenapa ceweknya nggak mau?” Bisik Syakilla yang malah membuat Gio terkekeh pelan.
“Saya juga nggak tau, coba kamu tanya Gibran aja kalo kalian ketemu lagi.” Jawab Gio dengan bisikan juga. Syakilla yang sadar akan hal itu, langsung menegakkan tubuhnya dan berdeham pelan.
“Gibran orangnya humble, beberapa kali dia dapet client yang ujung ujungnya malah confess ke dia.” Gio melanjutkan ceritanya.
“Pacarnya Gibran aneh banget.” “Kenapa aneh?” “Ya, kenapa gak mau di publish hubungan mereka? Padahal ada untungnya kalo di publish, Gibran nggak akan dapet client yang kayak lo ceritain itu.” Gio mengangguk sebagai jawaban.
“Udah berapa lama mereka pacaran?”
“Hmm,” “Saya nggak tau pasti, intinya dari mereka SMA.”
“Buset... Lama juga, ya.” Gio lagi lagi mengangguk.
“LDR juga sekarang.” “BUSEET!”
”...” “Kamu emang sering teriak gini, yaー” “NGGAK! E-eh, m-maksud g-gueー”
“Kill, gue cariin kemana mana, tau nya disini.” Syakilla bernapas lega saat mendengar suara Aqia, ia segera berdiri disamping sahabat sekaligus manajernya yang kini menatapnya bingungーya, seenggaknya, ajak Aqia duduk sebentar baru beranjak dari duduknya.
“L-lo nggak dikasih tau sama Biru emang kalo gue disini?” Kepalanya sedikit menoleh pada Gio saat mendengar ponsel berderingーmilik pemuda itu.
“Nggak ketemu Biru sama sekali gue,” “Lo mau pulang? Asli, gue haus banget, pesen minuman dulu, ya?”
Syakilla menggeleng ribut, “Gue beliin di sbux aja, kita pulang sekarang.” sejujurnya, Syakilla terlanjur malu menghadapi Gio saat ini.
“Gio, gue pulang duーlu...” Ucapannya menggantung, “Yo...? Lo, gak papa?” Ia bisa melihat raut wajah yang tak bisa diartikan dari Gio yang perlahan menurunkan ponsel yang ia genggam, menatap Syakilla yang kini menatapnya bingung.
Tiba tiba pemuda itu beranjak dari duduknya, mengambil jas yang ia sampirkan pada kursi kayu kafe itu. Berjalan melewati Syakilla dan juga Aqia yang masih menatapnya bingung, hingga beberapa langkah selanjutnya, ia berhenti, berbalik arah, menatap Syakilla yang masih menatapnya.
“Bunda masuk rumah sakit, kamu mau ikut?”