Too good : narasi I
“Nggak bisa, buk, Killa ada project dadakan..” “Hmm, sampein salam ke Bunda.”
Pip
Gadis dengan kemeja hitam berlengan panjang yang dilipat hingga atas pergelangan tangan itu menghela napas perlahan, jantungnya sedari tadi berpacu dengan cepat.
Apa yang gue lakuin…
Ia terus menunduk, mengamati sepatu Converse yang melekat elok pada sepasang kakinya.
“Killa.”
Kepalanya mendongak, mendapati Rendra yang masih berpakaian seperti terakhir kali ia lihat.
“Cantik banget.” Killa segera menepis dengan perlahan saat tangan dari pria itu mengusap pipi tembamnya.
“Nolak saya?” “Banyak yang lihat, Pak.” “Emang kenapa? Lagian nggak akan ada yang peduli.” Ucap Rendra yang semakin merapatkan tubuhnya, membuat Killa ingin berteriak meminta pertolongan.
Tangan lelaki itu terus menerus mengusap kedua lengan Killa dengan sensual, ia tau, apa yang tengah diinginkan oleh lelaki bajingan ini, maka dari itu, ketika tangannya ditarik paksa untuk mengikuti langkah Rendra, Killa memberontak kecil.
Sampai kapanpun, kekuatan Killa tidak ada tandingannya dengan pria berumur 40 tahunan itu.
Terbuka, mengepal, terbuka, mengepal. Tangan kanannya terus menerus melakukan seperti itu, seolah mengirimkan sinyal pertolongan kepada semua orang yang berada pada lobby hotel ini.
Langkahnya terhenti bersamaan Rendra yang membalikkan tubuhnya secara tiba tiba.
“Jangan lelet, bisa? Kita udah lama nggak ketemu, saya kangen sama kamu.” Killa menatap takut pada mata tajam itu.
“Terakhir kali saya ajak kamu kesini, gagal karena kami cramps dan pingsan. Sekarang? Kamu lelet. Ah.. Apa pingsan waktu itu cuma akal akalan kamu biar lepas dari saya, hm?” Rendra semakin mendekatkan dirinya pada Killa yang menunduk takut dengan tubuh yang bergetar.
“Kamu nggak lupa kan, apa yang saya pegang tentang kamu? Mau saya sebarin? Hm?” “P-pak, s-sayaー”
“Nurut, jalannya yang cepet, saya udah nggak sabar.” Tangannya hendak ditarik dengan paksa sebelum sebuah tangan lainnya menepuk pundak gadis itu.
“Kamu ngapain disini?” Keduanya berbalik, menatap pemuda dengan kemeja putih dibelakangnya.
“H-huh?” “Ini siapa? Atasan kamu?”
Syakilla yang masih linglung, melirik sekilas pada Rendra sebelum menganggukkan kepalanya kepada sosok pemuda yang kini berada di samping kanannya.
“Ahh gitu, btw, mama sering nanyain kamu, katanya nggak pernah ke rumah lagi, kenapa?”
“Anda siaー” “Atau kamu mau ketemu sama mama? Mama kebetulan ada di lantai atas, bentar lagi turun.” Pemuda itu memotong pertanyaan Rendra yang semakin membuat pria tua itu menggeram kesal.
“Nah itu dia! Ayo, mama udah kangen banget sama kamu.” Seru pemuda itu seraya menggenggam tangan kanan Killa.
Matanya menatap Rendra yang sudah menahan amarah, “Saya permisi dulu, ya, Pak.”
“Ayo.” Killa bergerak mengikuti pemuda disampingnya, menatap takut pada Rendra sejenak, sebelum dirinya benar benar meninggalkan lelaki tua itu.
Dalam hatinya, ia terus menerus mengucapkan kata syukur sebab datangnya pemuda itu. Dirinya terus menerus menunduk, hingga tak sadar bahwa ia sudah masuk ke dalam mobil pemuda yang tak di kenalnya itu.
“Kamu bakalan disini terus, atau mau saya antar ke rumah kamu?”
“H-huh?”
“Nama saya Gio, maaf tiba tiba sok kenal sama kamu, dari awal kamu di bawa sama bapak itu, saya ngeliat kamu ketakutan.”
“Terus nggak sengaja liat tangan kamu, kaya ngasih kode 'minta pertolongan'.”
Gio yang berada di kursi kemudi itu memiringkan tubuhnya sedikit, hingga Killa bisa menatap wajah tampan pemuda dihadapannya ini dengan jelas.
“U okay?” “Y-ya…” Killa kembali menunduk. “Makasih udah nyelametin saya.”
“Hah…” Pemuda itu menghela napasnya sejenak, “Tindakan saya bener kan berarti?” Anggukan samar didapatkan Gio.
Gio terus menerus menatap gadis yang kini memainkan ujung kemejanya sendiri, sisi wajahnya sedikit tertutupi oleh rambut yang menjuntai.
“Kamu Syakilla, ya?” Sontak, gadis itu mendongak, membelalak kaget saat Gio mengucapkan namanya.
“K-kamu tau dariー” ucapannya terhenti saat ia menyadari sesuatu.
G-gue kan penulis… D-dia..? Jangan jangan fans gue??!!!
“Ada foto kamu di rumah.” “K-kok?”
Gio terkekeh pelan, “Ini efek kita gak pernah ketemu kayaknya, ya?”
“Saya Gio, Gionino Baskara Nugraha, anaknya Diana Sastra Nugraha, orang yang sering kamu panggil bunda Diana.” Syakilla berbohong jika dirinya tidak terkejut. Tangannya menutup mulutnya yang menganga dengan mata yang membelalak kaget, menatap Gio yang tersenyum tipis diantara remangnya lampu mobil.
“Pantes pas saya lihat kamu, mukanya familiar, taunya Syakila Meira.”
Gio menegakkan tubuhnya kembali, dan mulai menyalakan mobilnya, “Saya antar pulang, ya? Kamu kayaknya masih syok perkara tadi.”
__________
“Makasih, Gio.” “Sama sama.” Pemuda itu memasukkan kedua tangannya pada saku celana.
“Apart kamu rapih, ya.” “Ya…Kayak apa yang lo liat.” Gio yang awalnya melihat ruang sekitar, seketika menatap Killa yang duduk diatas sofa.
“Perasaan tadi kamu make saya-kamu, kenapa sekarang berubah?”
Tentu saja, hal itu mampu membuat Killa gelagapan dan berdiri secara tiba tiba, “Y-ya kanーtadi gue belum kenal lo siapa.”
“Kalo sekarang, udah kenal?” Syakilla mengangguk.
“Hmm,” Matanya melirik tangan Killa yang masih saja meremat ujung kemejanya sendiri.
“Kalー” “Mau minum? G-gue buatin jus, ya?” “Gak usah, Killa, saya langsung pulang aja.”
“Serius?” Gio mengangguk. “Kamu mending istirahat aja, masih gemsteran tuh kamu.” Pemuda itu berjalan mendekat, mengulurkan tangannya, mencoba untuk bersalaman dengan gadis yang ternyata anak dari sahabat orang tuanya itu.
“Saya pulang dulu.” “S-sekali lagi makasih, Gio.”
Selepas pemuda itu hilang dibalik pintu yang tertutup, Killa terduduk di atas lantai yang dingin, punggung nya bersandar pada sofa yang berada di belakang nya, kakinya ia lipat ke atas, dengan lutut sebagai sandaran keningnya, sebelum ia meraung, menangisi apa yang telah ia alami tadi.