Too good : narasi vii
Ia menguncir asal rambutnya, sejujurnya, untuk keluar kamar, Syakilla masih benar benar malas akan hal itu, terlebih rasa takutnya yang masih bersarang pada dirinya.
Kemarin, setelah kepergian Gio, Zaraーibu Syakilla, bergegas menuju penginapannya, memastikan apakah anaknya itu baik baik saja. Ah, pemuda itu ternyata membicarakan hal ini kepada orang tuanya. Ia tidak bisa berbohong kalau ia benar benar marah sebab ini, tetapi ia juga tidak bisa menyalahkan pemuda itu karena pada dasarnya, serapat apapun ia menyembunyikan kejadian yang menimpanya, orang tua Syakilla harus tau hal itu.
“Cih, kemarin bener bener buru buru apa gimana sampe tas nya ketinggalan.”
Ya, selepas Zara memastikan keadaan Syakilla baik, dan gadis itu juga masih ingin sendiri, wanita paruh baya itu kembali ke rumah sakit, genap 5 hari, dirinya dan juga Zara menjaga Diana yang masih harus kemo.
Tungkainya ia bawa menuju nakas, meneguk air putih botolan yang ia beli beberapa waktu lalu sebelum berjalan keluar. Perut nya ini benar benar minta diisi, ia berharap di tengah jalan nanti menemukan tukang bubur karena demi apapun, ia benar benar menginginkan makanan itu. Tepat ketika ia membuka pintu kamar penginapannya, matanya membelalak terkejut saat dirinya mendapati seorang pemuda yang tengah terduduk bersandar pada dinding kamar depannya dengan mata yang terpejam.
Dengan panik, ia segera berjongkok dan berulang kali menepuk pipi pemuda itu yang dingin, “Gi, Gio! Gi, bangun, Gi!”
Bibirnya biru sebab kedinginan dengan kulit yang memucat, membuat Syakilla semakin dirundung rasa khawatir, sampai entah sudah keberapa kali ia menepuk bahkan mengguncang tubuh yang lebih besar darinya itu, akhirnya Gio mulai membuka matanya dengan perlahan.
“Gi? Gio?” “Hmm.” Hanya itu yang bisa ia utarakan karena pusing yang mendera dirinya.
“Lo kenapa ada disini sih??? Kenapa nggak nyewa kamar ajaaa? Hah?? Gembel lo?!” Senyum tipis terukir pada wajah pucatnya sebelum tangannya ia lingkarkan pada pinggang Syakilla dan menariknya menuju pelukan dinginnya.
Tentu saja hal itu membuat Syakilla terkejut bukan main, sampai ketika ia hendak protes, niatnya terhenti begitu saja saat Gio melepas pelukannya dengan cepat dan membuka matanya lebar lebar.
“Maaf,” sesalnya sembari menyamankan posisinya. Syakilla berdeham pelan, berusaha menghapus rasa canggung yang tiba tiba melingkupi ruang diantara mereka.
“Lo ngapain disini? Tidur disini juga lagi.”
Dengan kesadaran yang hampir penuh, Gio mengusap wajahnya pelan, “Tadi malem saya beneran khawatir sama kamu, nggak ada chat masuk dari kamu, atau telfon, sampe akhirnya saya chat kamu, tapi kayaknya kamu udah tidur.”
Syakilla menganga kecil dengan alis yang bertaut.
“Saya cuma mau make sure kalo kamu beneran baik baik aja, Syakilla, nggak ada niatan apapun. Rencana kalo pagi ini kamu nggak bales chat saya dan nggak keluar kamar, saya bakalan minta security buat bukain kamar kamu.”
Gio menatap takut pada Syakilla yang masih memberikan tatapan tak percaya pada pemuda dihadapannya itu.
“Dan berakhir lo tidur di depan kamar gue?”
“Ketiduran.” Ralat Gio dengan kepala yang menunduk. Syakilla berdecak tak percaya saat mendengar pernyataan yang dilontarkan pemuda berstatus sebagai calon suaminya itu.
“Lo bego apa gimana sih, Gi?” sang pemuda sontak mendongak, menatap wajah amarah gadis nya itu.
“K-kenapa, Syakilla?”
“Ck,” “Seharusnya, kalo lo tau dan nyadar gue udah tidur, lo minta lah kamar buat lo tidur, maksud gue, liat keadaan lo sekarang, wajah pucet, bibir biru, lo kalo bosen hidup tuh bilang! Jangan kayak gini. Lo bayangin, gue enak enakan tidur, mimpi indah di dalem sana, sedangkan lo? Khawatiiiir mulu, sampe lupa ama kesehatan sendiri.”
Syakilla berdecak, “Lo tuh ya. Ok, nggak papa kalo lo khawatir sama orang lain, tapi lo pikirin dulu diri sendirii, jangan asal nge-khawatirin orang tapi sendirinya nggak keurus.”
“Sama aja!”
Syakilla menghela nafasnya saat selesai dengan amarahnya. Ia menatap jengkel pada Gio yang terdiam mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum senyuman terukir jelas pada wajah pria itu, dengan lesung pipi yang baru saja diketahui oleh Syakilla.
“L-lo kenapa malah senyum??!!!”
Gio semakin melebarkan senyumnya, “Kamu khawatir sama saya.”
“H-hah?”
Seolah mengerti maksud dari kalimat Gio, gadis dengan kaos hitam lengan panjang itu seketika berdiri, merapihkan rambutnya dengan asal.
“G-gueーYA IYALAH BODOH! Kalo lo kenapa napa gimana? M-maksudnya, l-lo kan ada di depan pintu kamar gue, ntar gue yang kena pidana kalo lo kenapa napa!”
Gio terkekeh pelan dengan kepala yang tertunduk, mencoba untuk menetralisir rasa pusingnya sebelum beranjak dari duduknya.
“Yaudah, berhubung kamu baik baik aja dan bawel nya udah balik lagi, saya mau pergi dulu.”
“Kemana?” Gio menekuk bibirnya kebawah, tanda bahwa ia sedang berpikir.
“Saya mauー” “Nggak mau sarapan sama gue?”
“M-maksud gue, lo udah ketiduran di luar semaleman, gue yakin kalo lo sekarang masih kedinginan, danー” ia segera mengalihkan pandangannya saat Gio terus menerus menatap dengan tatapan yang sulit diartikan.
“ーlo bisa gunain kamar mandi kamar penginapan, sama lo bisa tidur bentar di kamar.” lanjut Syakilla dengan mata yang terus melihat sekitar, enggan untuk menatap netra Gio yang masih menatapnya dengan dalam.
“Is it okay?” “H-hah?”
“Saya masuk ke kamar penginapan, is it okay? Kamu beneran nggak papa ada cowok yang seruangan sama kamu?”
Syakilla menggigit bibir bawahnya pelan sebelum ia kembali mendongak, “G-gak apa kok! L-lagian lo buka orang asing kan? M-maksudnya,”
Syakilla meneguk ludahnya dengan kasar, “L-lo kan calon suami gue.” Ucapnya dengan terbata yang berhasil membuat Gio menyunggingkan senyumnya dengan lebar.
“Hmm, cowok yang di depan kamu ini, memang calon suami kamu.”