Too good : 2015
“Ck, sialan!” “Hahahaha! Udah kedua kalinya anjrit lu kalah mulu ama gua!” Remaja dengan balutan hoodie putih itu segera menepis tangan sahabatnya yang mencoba untuk merangkul dirinya.`
“Dihh, ngambek lu, Yo?” “Kagak, apaan dah.” Gio, remaja berumur 18 tahun itu berdiri dari duduknya setelah melepas stick PS berwarna putih, berjalan untuk meninggalkan Gibran-sahabatnya, yang memilih untuk menyulut rokok.
“Lu ada tamu, ya?” Tanya Gibran seraya menjajarkan dirinya dengan Gio yang menatap beberapa orang yang baru saja masuk ke rumah nya.
“Kayaknya.” “Kagak lu samperin?”
Gio mengedikkan bahunya sebelum merebut rokok yang diselipkan Gibran diantara jari tengah dan telunjuknya, “Kemarin si Nopal bawa vape, terus gua nyoba.”
Remaja dengan rambut sedikit gondrongnya itu, kembali merebut rokok miliknya, menyesapnya dalam dalam sebelum menghembuskannya keluar, menghantarkan rasa hangat pada rongga paru parunya.
“Rasanya enak dah, lu harus nyoba.”
Gio hanya mendengarkan dengan raut wajah datar, bersamaan mata yang kembali melihat ke bawah, dimana sebuah mobil terparkir rapih dihalaman rumahnya.
“Gue ambil minum sebentar, lo mau apa?”
Suara ramai samar samar terdengar saat Gio membuka pintu kamarnya, “Baru aja mau Papa samperin.” Suara pria paruh baya yang baru saja menginjakkan kakinya di lantai 2, membuat Gio segera menoleh dan menatap sang Papa yang sudah memakai pakaian rapih.
“Siapa, Pa?” “Temen Papa sama Mama waktu kuliah dulu,” sang Papa melihat sejenak keadaan dibawah sana sebelum melanjutkan, “Dari Semarang.”
Gio hanya terdiam, melihat dari jauh beberapa orang yang berasa di ruang tamu, langkahnya mendekati pembatas lantai, memandangi lebih dekat kegiatan dibawah sana.
“Ke bawah ya, Bas. Papa tunggu.” Ucap pria itu sebelum meninggalkan anak semata wayangnya yang masih memperhatikan tamu-tamunya dari atas.
Matanya menatap datar, memperhatikan satu persatu beberapa orang yang asing dimatanya dengan seksama, sebelum netra almond itu, menangkap seseorang yang entah mengapa, membuat dirinya terus menerus menatapnya lagi dan lagi.
Seperti candu, bahkan ketika seseorang yang ia perhatikan tertawa, dirinya ikut tersenyum, sampai pada dimana eksistensinya seolah terlihat, seseorang itu menatap dirinya yang membuat Gio dengan cepat cepat membalikkan badannya, berharap bahwa dirinya tidak kedapatan tengah mencuri pandang terhadap sosok asing tersebut.
Dirasa aman, ia membalikkan badannya, kembali menatap sosok tersebut hingga tanpa sengaja, telinganya menangkap suara sang Mama, “Syakilla sekarang udah kelas berapaa?” Matanya mengalihkan pandangannya pada sang Mama.
“Baru masuk SMA, tante..” “Heh, kok manggil tante sih, panggil aku Bunda.” “Haha, iya, Bunda, Syakilla baru masuk SMA.”
Ia terus memperhatikan percakapan samar samar yang ia dengar dari sang Mama dengan gadis yang ia ketahui bernama Syakilla itu.
“Aduhhh, cantiknyaa, kamu nih cocok banget jadi tuan puteri kalo cantik begini.. Huh, bunda jadi gemes!”
Gelak tawa terdengar dari bawah sana, tanpa sadar hal itu membuat Gio ikut tersenyum tipis, sangat tipis, sampai dirinya sendiri bahkan tidak sadar bahwa ia menikmati percakapan tersebut.
“Lu jadi ambil minum nggak sih?”
Suara dari belakang membuat ia berdecak pelan sembari membalikkan tubuhnya, menatap kesal pada Gibran yang baru saja keluar dari kamarnya.
“L-lu kenapa natep gua begitu monyet??!”
“Lo, pengganggu.” Sarkasnya seraya masuk ke dalam kamar, meninggalkan Gibran yang tercengang tak mengerti.
“G-gua ada salah apaan anjir??” Matanya menangkap tempat dimana Gio sedari tadi berdiri, “Emang dibawah ada apaan dah?” Baru saja ia hendak melangkah mendekat, tangannya ditarik paksa hingga kembali memasuki kamar bernuansa abu abu milik Gio.
“Masuk.” Perintah Gio seraya menutup pintu kamarnya.
“Dibawah ada apaan sih? Tamu keluarga lu kan? Rame bener.”
Gio menarik stick PS nya, “Ayo lanjut main lagi.” Ajak Gio, mencoba untuk mengalihkan rasa penasaran Gibran yang sepertinya berhasil. Tidak, ia tidak akan memberikan kesempatan dimana Gibran menemukan sosok yang mencuri perhatiannya itu, tidak, dan tidak akan pernah.
Geezzzz, how posessive he is...
Too good : narasi vi
“Lo dengerin gue nggak sih?” Lamunannya terbuyar seraya meletakkan kembali ponsel yang sudah lama mati itu diatas meja.
Dilihatnya Dimasーteman kampusnya waktu kuliah dulu, “Denger kok.”
Dimas berdecak pelan, ia kembali membuka lembaran kertas yang ia genggam, “Nanti gue cari tau siapa aja korbannya.”
Gio mengangguk, “Gue juga yakin kalo bukan cuma Syakilla doang korbannya, ngeliat tindakan dia yang udah sejauh ini.”
“Lo bakal mastiin kalo kasus Syakilla nggak bakal diangkat ke media kan?” Lanjut Gio, gelengan tegas ia dapatkan.
“Gue juga sadar kalo kasus ini sensitive banget buat Syakilla, apalagi dia penulis, nggak semua orang bisa open minded perkara ini. Masih banyak yang nyalahin korban padahal jelas jelas disini korban yang banyak dapet getahnya gara gara orang gila kayak Rendra.” Dimas meletakkan lembaran kertas yang ia genggam sebelum meneguk kopi yang sudah mulai dingin itu.
“Gue bener bener nggak habis pikir kalo yang ngelakuin ini kepala Raksa,” “Penerbitan itu bukannya udah termasuk gede, ya?”
Pemuda yang tengah memainkan kunci mobilnya itu, menyandarkan punggungnya dengan mata yang terpejam, “Gue juga nggak tau... Otaknya ditaro dimana coba.”
Dimas terkekeh, “Orang kayak gitu mana punya otak sih, Yo? Kalo punya otak, dia nggak bakalan ngelakuin ini.”
Gio hanya terdiam, tak menanggapi perkataan temannya itu, pikirannya benar benar kacau saat ini, terlebih Syakilla belum menelfonnya atau bahkan mengiriminya pesan. Bukan, Gio bukan tipe yang suka dikabari setiap saat, tapi saat ini, kondisinya masih belum baik, maksudnya, ia tau, bahwa Syakilla masih ingin sendiri, tapi ayo lah, apa hanya mengirimkan sebuah pesan bahwa Syakilla sudah makan malam atau gadis itu akan tidur, bukan masalah yang besar 'kan? Gio hanya ingin memastikan bahwa gadis itu benar benar baik baik saja saat ini.
“Kalo lo mau nyamperin cewek lo, samperin aja,” Gio menoleh pada Dimas yang mulai memasang jas nya kembali.
“Dari tadi lo nggak konsen meskipun lo bilangnya dengerin apa yang gue ucapin.” Rasa bersalah mulai menderanya.
“Gue nggak bermaksud, Dim, sorry.” “Nggak papa elah, santai, kita lanjut besok aja, ini ternyata juga udah malem banget, pantes konsentrasi lo ilang.”
Dimas beranjak dari duduknya, memperhatikan Gio yang kembali menatap kosong pada ponsel, “Kalo ada apa apa, telfon gue, rumah gue terbuka buat lo.” Ucapnya seraya menepuk pelan bahu Gio dan pergi dari sana, meninggalkan pemuda yang masih saja melamun itu sendirian.
Helaan napas terdengar frustasi dari Gio, matanya menutup seluruh wajahnya sebelum mengusapnya dengan kasar. Jantungnya berdegup cepat tak karuan. Ia kalut. Tubuhnya memang berada di ruang private restoran, tetapi pikiran dan jiwa nya, masih berada di depan pintu penginapan Syakilla yang tertutup.
Maka dengan sisa tenaganya, dirinya berjalan, keluar dari ruangan itu dan bergegas menuju tempat dimana ia bisa merasakan ketenangan, dimana ia bisa menghapus segala pikiran negative yang mendera dirinya.
Ya, setidaknya, ia bisa memastikan bahwa sosok yang ia cintai baik baik saja.