“lo masih ragu?”
“buat?”
“ya, maju.”
“gue cuma takut.”
“takut?”
“what if i hurt him?” . . . . . . . .
“like i've done before?”
“lo masih ragu?”
“buat?”
“ya, maju.”
“gue cuma takut.”
“takut?”
“what if i hurt him?” . . . . . . . .
“like i've done before?”
“Jangan mentang-mentang twitter gua nyangkut di hp lu, lu jadi seenaknya mainin akun gua, Dan.”
Jericho meletakkan ponselnya di atas meja belajar kamar Danu sedikit keras, menatap geram teman semasa ospek nya itu.
“Ya dia demen ama luー” “Ya terus kenapa kalo dia demen ama gua?” “Pacaran lah” “Pala lu.”
Danu yang sedari tadi hanya diam perlahan menggerakkan tubuhnya, menyandarkan punggungnya pada headboard kasur kamar kost miliknya.
“Gua tuh cuma membantu,” ia menatap Jericho yang masih membaca satu persatu bubble chat di ponselnya.
“Lagian lu juga demen kan ama Ameera?” Jericho yang semula fokus pada ponselnya, seketika menatap Danu dengan kaget.
“Ha?”
“Jangan kira gua gak tau tentang sketsa lu, Jer.”
“Jangan sok tau.” Final Jericho setelah terdiam beberapa saat, tangannya bergerak mengambil kunci motor, dan meninggalkan Danu yang mendengus kesal diatas kasur.
“Nah akhirnya diangkat, gimana? Lo jadi bimbingan kaga?”
”...”
“Yeuh, tau gitu gue ke Pak Kardi dari tadi,”
“Ya,”
”...”
“Santai,”
”...”
“Yot.”
pip
Ameera berdecak pelan sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, memperhatikan sekitar depan akademik lalu masuk perlahan dengan raut wajah yang cukup terlihat kesal.
“Emang bener kata si Rico kalo Fara doyan cancel jadwal, ck, sialan, Pak Kardi ada kelas kaga ya.”
Ia berjalan menuju kursi tunggu depan kantor akademik, memilih untuk melihat jadwal dosen pembimbingnya lewat website kampus, hingga ketika ia fokus mencari nama Pak Kardi, suara beberapa mahasiswa yang lewat di depannya membuat ia mendongak dengan alis mengangkat.
“Tapi dia ganteng,” “Miskin bangke, hahaha, gua juga gamau pacaran ama cowok miskin, adanya lu bakal di porotin ege.”
Topik dua mahasiswi yang melewati Ameera membuat gadis itu penasaran, namun ia memilih untuk mengabaikannya.
“Posternya di tempel di mading.”
“Gua bingung kenapa dia bisa masuk Universitas kita, secara masuk sini tuh awal masuk aja bayarnya bisa jutaan buat dapetin kursi.”
“Beasiswa katanya.”
“Sama aja, beasiswa kan juga perlu bayar bayar gitu kaga sih? Pas awal awal masuk.”
“Simpenan Pak Rektor kali.”
“Goblok, homo dong bangsat?!”
“HAHAHAHA, kali aja, tampangnya cocok jadi boti.”
“Bangsat, Dam, omongan lu filter dulu ngapa si.”
Cukup, Ameera benar benar penasaran kali ini.
Gadis dengan blouse hitam dipadu jeans itu segera beranjak dari duduknya dan mendekati gerombolan pemuda yang masih berdiri di depan tangga menuju lantai dua,
“Mading mana?”
Semuanya menoleh, menatap Ameera dengan raut wajah penuh tanya.
“Poster yang lo pada omongin tadi, di tempel di mading mana?”
“Poster nya si miskin?”
Benar dugaan Ameera, kalau beberapa orang yang melewatinya, membicarakan tentang hal itu.
“Iya.”
“Noh, depan Bank Mini, depan ruang F10ーlah anying?! Main nyelonong aja, minimal makasih kek!”
Kaki jenjangnya segera meninggalkan pemuda yang kini memakinya kesal, masa bodo dengan hal itu, yang ia pikirkan saat ini adalah,
“Anjing, kenapa rame banget di depan mading.”
Tanpa memperdulikan beberapa orang yang kesal sebab dirinya memaksa masuk ke dalam gerumunan mahasiswa di depan mading fakultas, akhirnya ia sampai, menatap ngeri pada poster poster yang penuh coretan makian.
Dengan perasaan yang campur aduk, tangannya segera merobek 4 poster yang telah tertempel disana.
“Ini majalah dinding fakultas, bukan akun gosip sialan, bisa bisanya nempelin informasi gapenting kayak gini disini!”
Hening.
“Bubar! Ngapain masih disini? Poster nggak guna ini udah gue robek semuanya, minggir!”
Beberapa bisikan mulai terdengar saat Ameera berusaha keluar dari gerumunan mahasiswa yang masih berdiri disana.
Dirinya kelewat marah, baru kali ini mading fakultas menempelkan informasi yang amat sangat tidak penting.
Atau, ia marah, sebab hal penting yang disebar luaskan melalui mading itu, adalah tentang seseorang yang ia sukai?
“Awas aja kalo namanya Jericho makin jelek perkara ini, habis lo yang nempelin poster gajelas ini di mading!”
“Lo dari mana sih?” “Huh?”
Ameera yang sedari tadi terlihat tak tenang itu, akhirnya menoleh, menatap Arsel dan juga dua pemuda yang masih berdiri di tempatnya seperti awalーTheo dan juga Danu.
“G-gueーhuh,” ia menghela napas pelan, “Lo inget cowok yang gue ceritain terakhir kali kan, Sel?”
Theo mengangkat satu alisnya, “Cowok? Lu punya gebetan?”
“Diem dulu!” Ameera mengerutkan dahinya sembari mengatur napasnya yang masih tak beraturan.
“Yang lo nge-pap itu?” yang ditanya mengangguk antusias.
“Itu, dia ujian bareng gue.” “Hah?”
“Dia ujian bareng gue!!! Namanya Jericho!” Ameera mengusap wajahnya frustasi, “Gue tuh tadi ngibrit lari keluar ruangan soalnya mau ngejar tuh cowok! Anjrit lah malah ngilang, cepet banget jalannya anying.”
Ameera melengkungkan bibirnya ke bawah seraya berjalan, mendekat pada trotoar parkiran yang mulai sepi.
“Jericho Anggarayudha?” suara Danu membuat Ameera mendongak, menatap teman seangkatannya dengan mata membelalak.
“Lo tau?” Danu mengangguk, “Itu temen gua,”
Danu yang mengenakan kemeja merah maroon itu menggulung lengan kemeja panjangnya hingga siku bersamaan kakinya berjalan mendekati Ameera, bermaksud untuk ikut duduk disamping gadis itu.
“Pas OSPEK, gua sekelompok sama dia,” matanya menatap tatapan kaget Ameera, “Kenapa? Lu naksir dia?”
Ameera masih terdiam, kali ini matanya kembali seperti biasa, memilih untuk menatap sekitar, sebelum kembali bertanya pada Danu,
“Sekarang dia dimana?”
Danu mengedikkan bahunya pelan sebelum mengeluarkan ponsel dari sakunya, “Jam segini sih biasanya dia part time di kafe Bang Leo, Loenna Cafe.”
Tak ada jawaban kecuali ekspresi tanya dari Ameera, “Kakak kelas gua pas SMA.”
“Tempatnya dimana? Jauh?” “Sekitar 6 menit-an dari kampusーlah, Ra?”
“Mau kemana?” Kini berganti, Arsel menahan tangan Ameera saat gadis itu tiba tiba beranjak dari duduknya, hendak pergi meninggalkan ketiga temannya itu.
“Menjemput jodoh, BYE! Theo tolong bawain hadiah hadiah gue, ya!” Teriak Ameera seraya pergi meninggalkan tiga anak cucu adam yang menatap kepergian gadis itu dengan tatapan tak percaya.
Danu perlahan beranjak dari duduknya, memasukkan kedua tangan pada saku celana jeans-nya.
“Mau balik?” Itu suara Theo, bertanya pada Arsel yang kini menatapnya, diikuti oleh Danu yang mulai mengeluarkan kembali ponselnya.
“Iya.” Kata Arsel seraya bergerak menjauh,
“Bareng guaー” “Gue naik ojol aja.” “Bareng ajaー” “Ck.”
Tangannya ditepis begitu saja oleh Arsel seraya gadis itu membenarkan letak tas hitamnya, “Gak usah pegang pegang.”
Matanya menatap Danu, “Gue duluan, Dan.” Pamitnya sembari berjalan menjauh, menuju gerbang Fakultas Ekonomi kampus mereka.
Kedua pemuda itu masih menatap kepergian Arsel, hingga suara Danu yang tiba tiba terdengar, membuat Theo sedikit kesal karenanya,
“Udah 3 tahun, belum juga bisa ngeluluhin batu es nya si Arsel.” Ejek Danu dengan kekehan yang terdengar dibelakang.
“Berisik.” “Makanya, jangan sok-sokan gonta ganti pacar, mau lu gonta ganti pacar ampe seratus kali, Arsel nggak bakal peduli, malah makin ngejauh.”
Danu mengambil beberapa hadiah milik Ameera, “Kalo lu pengen bikin Arsel cemburu, bukan begitu caranya, sob,”
“Terlalu kekanakan, dan gua yakin itu nggak bakal berhasil, malah bikin lu ama Arsel jauh.”
Pundaknya di tepuk pelan oleh teman seperjuangannya saat SMP, “Tobat gonta ganti pacar, fokus ke Arsel,”
“Nggak usah kebanyakan gengsiー” “Gua nggak gengsi.”
Danu terkekeh, “Semangat deh.” ucapnya sebelum pergi meninggalkan Theo yang berdecak pelan seraya mengeluarkan sebatang nikotin.
Langkahnya sedikit tergesa saat dirinya keluar dari mobil putih miliknya, dengan jas yang masih melekat pada tubuh rampingnya, Ameera berjalan mendekati kafe yang beberapa saat lalu Danu bicarakan.
Ya, dia benar benar menyusul Jericho disana, ia sebenarnya tak tau pasti, apakah pemuda itu benar adanya disana, atau tidak, yang jelas, ia ingin segera bertemu kembali dengan sosok itu.
sosok yang benar benar ia kagumi.
“Selamat datang di rumah, mau pesan apa, Kak?” Matanya melirik sekitar, memastikan sosok yang ia ingin temui segera ia dapatkan keberadaannya.
“Kak?” “Eh, uhm... Yang oreo.” “Oreo crumb atau Oreo milky?” “Milky.” “Okay, jadi totalnya 25.000, ya, Kak, mau pake Qris atau cash?”
“Qris.” Ameera mengeluarkan ponselnya, menggulirkan beberapa aplikasi hingga ia menekan aplikasi mobile banking miliknya,
Sejujurnya, ia benar benar tidak fokus dengan suara waiters yang berbicara dengannya sedari tadi, matanya terus mencari keberadaan Jericho.
“Ok, sudah masuk ya, Kak, Kakak nya mau di atas atau di bawah?”
“Bawah aja,” “Ok, mohon ditunggu ya, Kak.”
Jantungnya berdetak kencang saat perlahan memasuki ruangan yang bernuansa vintage, ditambah musik yang di putar sangat cocok dengan vibes yang ada, sehingga menambah kesan pertama Ameera memasuki kafe yang sepertinya masih baru ini dengan baik.
Kakinya tak berhenti dengan jari telunjuk yang mengetuk pelan meja bulat kafe.
Belum, Jericho belum sama sekali menampakkan batang hidungnya, Ameera menggigit bibir bawahnya, pikirannya melayang pada Danu yang kembali mengatakan bahwa Jericho part time di kafe ini, tapi mana?
Bahkan dari awal dirinya masuk ke dalam kafe yang tidak seberapa ramai ini, Jericho belum juga tampak.
Ameera pun juga berkeliling, selain menunggu pesanan dan juga melihat interior kafe yang terbilang bagus, bahkan jauh lebih bagus dari beberapa kafe yang sering ia kunjungi, ia juga berharap mendapatkan keberadaan Jericho.
Tapi nihil, ia naik ke ruang atas pun tak ada wujud dari seorang pemuda yang ia kagumi itu.
“Danu bohongin gue nih pasti.” Ameera berdecak pelan seraya membuka ponselnya, hendak protes pada Danu dan mencaci maki temannya itu,
“Atas nama Ameera?” “Oh, iya, Masー”
”...”
“Jericho?!”
Mood nya yang memang sudah buruk itu, semakin terasa buruk ketika ia melihat mobil hitam yang terparkir pada halaman kos nya, siapa lagi pemiliknya kalau bukanー
“Ra.”
Yang dipanggil terus saja melangkah, meninggalkan sosok pemuda yang kali ini berjalan mengikutinya, meraih pergelangan tangan Ameera hingga gadis itu berbalik, menatapnya.
“Siapa sih?” “Nggak usah drama.” “Lo yang drama! Ngapain kesini?!”
Itu Theo, faktanya, rasa kesal Ameera akan keputusan Theo untuk menjalin hubungan dengan Sabrina beberapa minggu yang lalu, masih membuat Ameera menjaga jarak pada pemuda itu.
Theo masih terdiam dengan jemari telunjuk dan tengahnya mengapit rokok Marlboro yang tinggal setengah.
“Sempro lu besok?” “Hm.” “Duduk dulu, bisa? Kaki gua pegel nungguin lu dari tadi.”
Theo menyodorkan beberapa keripik yang sempat ia beli tadi, punggungnya ia sandarkan pada kayu gazebo khusus tamu yang telah disediakan oleh pemilik kos yang menjadi tempat tinggal Ameera selama ini.
Kepulan asap rokok serta suara beberapa kendaraan yang lewat menjadi alunan serta saksi bisu nya kedua saudara tersebut.
“Gua putus sama Sabrina.” kunyahan Ameera terhenti saat dengan tiba tiba Theo memberikan fakta baru kepadanya.
“Bagus.” ungkapnya jujur setelah beberapa saat terdiam, gadis dengan rambut yang dikuncir asal itu kembali memakan keripik pemberian Theo.
“Lu mau tau nggak alasan kenapa gua pacaran sama orang itu?” “Nggak penting.” “Yakin?”
Theo kembali mengeluarkan sebatang rokok sebelum mengapitnya dengan kedua belah bibir yang sedikit menghitam itu.
Ameera melirik, “Nyebat terus.”
Suara korek api menjadi jawaban, Theo menghisap dalam dalam benda nikotin itu sebelum tangannya merogoh saku celana kiri.
“Nih,”
”...”
“Flashdisk lu yang ilang Agustus kemarin.”
“Kokー” “Gua tau ini telat banget, tapi ya, daripada nggak?”
“Tunggu tunggu,” Ameera membenarkan posisi duduknya seraya mengambil benda kecil berwarna hitam itu, “Kok flashdisk ini ada di lo?”
“Makanya, kalo ada orang mau jelasin sesuatu, dengerin, bukannya nge-block.”
Merasa tersindir, Ameera berdecak pelan.
“Lu inget kan kenapa flashdisk ini ilang?” Ameera mengangguk.
“Pas di perpus.” “Ya, setelah itu lu nangis nangis ke gua gara gara file proposal lu ada disitu semua.”
Theo menyesap rokoknya sebelum kembali berucap, “Yang ngambil Sabrina.”
“Lo… tau darimana?”
Theo mengedikkan bahunya pelan, “Gua nggak sengaja mergokin Sabrina jalan ke meja lu pas lu lagi nyari buku di rak 279,”
“Tapi sayangnya, gua telat, pas Sabrina udah ambil flashdisk lu, gua baru sampe ke meja, awalnya Sabrina kaget juga sih pas liat gua dateng, tapi ya gua pura pura bego aja.”
“Terus, korelasinya lo jadian ama Sabrina apaan?”
“Pas gua sampe ke meja lu, dia nanya ngapain gua kesini, gua bilang aja, nyamperin lu (Sabrina), lah dia percaya, abis itu yaudah, niat gua cuma mau ambil flashdisk lu balik, makanya gua pacarin, orang dia gua ajak makan siang bareng sekali udah baper, yaudah gas aja.”
“Anjing.” Ameera terkekeh pelan.
“Masih marah kaga?” “Ya menurut lo aja gimana?” “Harusnya kaga sih, gua udah rela macarin Sabrina sebulan.”
“Cih, itu pacaran apa ngekost.”
Keduanya terdiam, yang satu kembali menikmati rokoknya, dan yang satunya lagi menatap manik tajam lawannya.
“Makasih, ya.” Theo melirik, “Makasih lo udah berhasil ngembaliin flashdisk gue.”
“Sungkem.” “Tai.”
Keduanya tertawa, “Btw kok lo bisa ambil nih flashdisk?”
“Kepo lu.” Theo beranjak dari duduknya.
“Eh gue serius anying!” “Ya gua juga?” “Theo!” “Apa sayang?” “Ah anjing lo ahhh!”
Sang pemuda tak menggubris teriakan Ameera, ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana sebelum berbalik, meninggalkan Ameera yang masih terduduk dengan raut wajah kesal.
“Oh iya,” langkahnya terhenti, “Lu masih benci banget sama Sabrina?”
Ditatapnya manik mata yang perlahan berubah itu, tanpa Ameera jawab pun, sorot mata yang berhasil ditangkap itu, Theo sudah tau jawabannya.
“Besok sempro lu jam berapa?” “Sembilan.” “Penguji?” “Bu Nikmah sama Pak Dion.” Theo mengangguk, ia kembali melangkah mendekati Ameera, sebelum mengusap puncak kepala sepupunya itu.
“Good luck, besok gua bawain buket bunga segede gaban.”
Tangannya gemetar, jika dibandingan dengan es batu yang sudah tercetak dalam cetakan, sepertinya tangan Ameera lebih dingin dibandingkan dengan es batu tersebut. Kakinya sedari tadi tak berhenti bergerak, matanya melirik memperhatikan audience yang mulai berdatangan, tak terkecuali Arsel dan Theo yang datang bersamaan.
“Maaf terlambat.” Itu Pak Dion, pembimbing sekaligus penguji seminar proposal Ameera dan 4 mahasiswa lainnya.
“Saya absen dulu, ya.” Ucap beliau seraya memakai kacamata bacanya, matanya menelisik mahasiswa yang kini duduk di samping kiri sedikit menjorok kebelakang, dahinya mengerut sebelum bertanya,
“Loh, cuma 4 orang? Bukannya dijadwal masing-masing sesi ada 5 mahasiswa yang diuji?”
Seseorang berdeham disamping Ameera sebelum menjawab, “Ada 5, Pak, seharusnya, tapi yang satu belum datang.”
“Lho-lho,” Pak Dion berdecak, “Kok bisa telat di seminar proposalnya sendiri.”
“Siapa namanya?”
“Jer-”
“Maaf saya terlambat.”
Suara yang tiba-tiba memecahkan keheningan ruangan seminar itu, tentu saja mengalihkan atensi semua orang yang ada di dalam sana, tak terkecuali Ameera, yang kini ikut menoleh ke belakang dengan degup jantung yang semakin berpacu dengan cepat.
Bola matanya mengikuti seseorang yang perlahan berjalan mendekat, menghampiri Pak Dion dan Bu Nikmah,
“Maaf, Pak, Bu, tadi ada sedikit kendala.” “Hhh, untung belum saya mulai, sana duduk.”
Pemuda tinggi menjuntai itu menganggukkan kepalanya sopan sebeum bergerak, bermaksud meninggalkan kedua penguji seminar proposalnya itu, hingga tanpa sengaja, manik matanya menangkap sosok yang kini diam terpaku menatapnya terkejut, pun dengan dirinya yang terdiam beberapa saat sebelum tersenyum kecil dan melanjutkan langkahnya.
“Tunggu,” Pemuda itu berbalik, menatap Pak Dion, “Siapa namamu? Biar saya catet soalnya kamu terlambat.”
Dengan senyum manis, pemuda itu menundukkan kepalanya sekilas sebelum menjawab, “Jericho, Pak,”
Kepalanya menoleh pada Ameera yang masih diam terkejut, “Jericho Anggarayudha, Pak.” ucapnya tanpa mengalihkan tatapannya dari Ameera.
Matanya mengerjap perlahan, mengamati ruang gelap yang berada di hadapannya, sedikit memicing saat dirinya tak sengaja melihat secercah sinar dari dalam sana, sedikit oranye, persis warna lampu kamar tidurnya.
Ia memilih melangkah untuk mendekat, mendorong pintu yang sedikit terbuka itu, sebelum ia benar benar masuk, memperhatikan suasana ruangan yang hanya diterangi lampu tidur.
Hingga ketika ia kembali berjalan, ia melihat sosok perempuan yang tengah tertidur lelap, dengan selimut yang menutupinya setengah tubuhnya, damai, dengan poni sedikit menutupi wajahnya.
Dengan rasa penasaran yang semakin menggebu, ia mendekat, mencoba untuk mencari tau siapa sosok itu, sampai ketika ia tepat berada di samping kasur, suara deritan pintu yang terbuka membuat ia mengurungkan niat.
Tubuhnya otomatis berputar, memilih untuk melihat siapa yang ikut masuk ke dalam ruangan gelap itu. Penerangan yang minim, membuat ia memicingkan mata saat ia melihat bayangan sosok di tengah pintu, berjalan pelan dengan jaket serta masker yang menutupi sebagian wajahnya.
“Siapa?” Suaranya mengambang, ia bisa merasakan bahwa suaranya tidak bisa ditangkap oleh sosok yang kini mulai mendekat.
Dirasa tak ada jawaban, ia mendekati sosok itu hinggaー
Ia bisa mengenal dengan jelas siapa sosok tersebut.
Dadanya sesak, ketakutan semakin menjalari tubuhnya, ia mundur perlahan bersamaan sosok itu yang terus mendekat, suara napas yang terdengar sesak itu lantas segera terhenti ketika ia tak sengaja menabrak nakas di belakangnya.
Keringat dingin yang bercucuran, tangan gemetar, ia mencoba untuk mengambil beberapa alat yang bisa ia raih, matanya terus menatap sosok yang tengah berdiri di depan kasur, terdiam, entah siapa yang ia tatap.
Isakan yang mulai terdengar, kaki yang melemas, ketakutan yang terus menjalari tubuhnya, perlahan ia menarik selimut, ia terduduk di atas kasur, menutup wajahnya yang mulai basah akan keringat dan air mata.
“Syakilla.”
Suara itu.. Ia bisa mengingat nya dengan jelas, peristiwa yang benar benar membuatnya ketakutan, terulang kembali.
Ia perlahan membuka tangan yang menutupi wajah, sedikit melirik sosok itu, sebelum ia melirik sosok perempuan yang sebelumnya menjadi target rasa penasaran.
Perlahan ia menggeser tubuhnya, sedikit menarik selimut serta poni sosok tersebut, hingga ia bisa melihat,
Ada dirinya yang lain disana.
Nafasnya semakin tersengal, berteriak pun ia tak bisa, meraung keras, berusaha untuk menghentikan sosok misterius yang perlahan menaiki kasur, dengan tangan yang menggenggam belati.
Penerangan yang minim tidak membuatnya tak tau apa yang tengah di genggam sosok misterius itu, benda yang mulai ia ayunkan ke udara.
Dengan sisa tenaga yang kuat, ia hanya bisa menangis, berteriak sebisa mungkin, berteriak, agar dirinya bisa kembali ke realita,
Berteriak, agar dirinya, tak merasakan rasa sakit itu lagi.
“ALIN, BERHENTI!”
“Syakilla!”
Tubuhnya terduduk seketika bersamaan dirinya kembali pada realita, matanya yang basah, serta keringat dingin yang bercucuran, membuat ia semakin menangis ketakutan.
“Syakilla.” Suara di sampingnya membuat ia sedikit terlonjak sebab efek mimpi yang benar benar terasa nyata, dilihatnya sosok lelaki yang kini menatapnya khawatir seraya mengusap bahunya pelan, mencoba menenangkan.
“G-gio..”
Direngkuhnya tubuh Syakilla, sang empu hanya mengerat pelukannya, berucap syukur dalam hati sebab ada seseorang disampingnya, ada seseorang ketika ia bermimpi buruk.
Ada seseorang yang bisa diandalkan, ketika memori kelam itu kembali muncul.
“Sshhh, i'm here, i'm here…”
“Takut… hks, i-itu muncul lagi…”
Merasa paham akan pembicaraan sang istri, usapan pada punggung sempit itu terhenti sejenak, sebelum ia kembali mengusap nya penuh afeksi,
“It's okay, kamu jangan khawatir, ada aku, sayang, aku akan ngelindungin kamu. I'm sorry, maaf ninggalin kamu sendirian kemarin.”
Air mata terus menerus mengaliri pipi wanita berumur sekitar 29 tahun itu, matanya menatap gundukan yang kini sudah ditaburi bunga serta parfum di atasnya, dengan nisan putih yang terukir nama indah, yang sampai kapanpun, akan dikenang oleh wanita itu.
Usapan pada bahunya membuat ia menoleh sedikit ke arah kiri, mendapati pria tinggi yang tengah menatapnya sendu.
“Juan…”
Sang empu segera memeluk erat perempuan itu, “Gue, turut berduka cita ya, Sy..”
Arsy, wanita dengan pakaian serba hitam itu semakin mengeratkan pelukannya dengan wajah yang ditenggelamkan pada dada sang lelaki, Juan hanya mengusap punggung sempit sang wanita seraya menatap makam yang masih baru itu.
“Sssttt, jangan nangis terus…” “G-gimana aku g-gak nangis? HksーAbiー” “Sssttt, udah yaa? Nanti dia juga ikut sedih kalau kamu nangis terus..”
Juan mengusap pipi Arsy dengan kedua ibu jarinya sebelum ikut mengusap kepala Arsy dengan penuh sayang.
Matanya tak sengaja menatap anak kecil yang hanya berjongkok dengan mata yang tak henti henti nya menatap makam itu, dengan tangan yang sesekali memainkan tanah merah.
“Hey, boy.” Anak itu menoleh,
“Om Juan.”
Pria berumur 31 itu lantas tersenyum, ia ikut berjongkok di samping anak lelaki yang kini terus menatapnya.
“Feel sad?” “Hmm, tapi aku harus kuat,” Ia tersenyum manis,
“Kalau aku nangis, nanti Bunda ikut sedih.”
Juan tak bisa menahan senyumnya, ia bawa tangannya untuk mengusap kepala keponakan nya itu seraya mengecup kecil keningnya.
“Good boy, jadi cowok emang harus kuat, Dam.”
Adam, anak dari teman sekaligus sepupunya itu terkekeh pelan dengan lesung pipi yang terlihat di pipi kanannya.
“Your parents educated you well, boy.”
Baru saja ingin menimpali, mata bulatnya tak sengaja melirik seseorang yang berjalan tergesa ke arahnya, Adam segera beranjak dari duduknya,
“Ayah!”
Direngkuhnya tubuh sang Ayah dengan erat, yang lebih tua mengusap punggung sempit itu dengan sayang.
“Hey, maaf Ayah telat..”
Dilepaskannya pelukan itu, matanya kini menatap wanita yang menatapnya dengan linangan air mata yang terus mengucur deras dari pelupuk matanya.
“Sayang..”
“HksーAbiーAbi udah nggak ada, Abian..” Pria itu segera merengkuh Arsy, wanita itu semakin meraung dengan wajah yang tenggelam pada dada sang suami.
Abian, pria berumur 30 tahun itu terus mengusap punggung sempit istrinya seraya mengeratkan pelukannya, mencoba untuk menenangkan sang istri yang baru saja ditinggal oleh pria terkasihnya untuk selamanya.
Ayah mertuanya, atau yang sering ia panggil Abi.
“Sstttt, tenang, sayang…” “Abiーdia ninggalin akuーhks.”
“Ada aku, ada aku yang bakal gantiin posisi Abi buat jaga kamu, ada aku, ada Adam yang siap jaga kamu, Arsy..”
Merasa di sebut, anak kecil berumur 4 tahun itu mendongak, menatap Abian yang tersenyum ke arahnya, bergerak mendekat.
“Adam mau peluk Bunda juga…”
Arsy yang mendengar itu segera melepaskan pelukannya, ia berjongkok agar sejajar dengan Adamーanaknya bersama Abian yang mengikuti dirinya.
“Sini, peluk Bunda.” Adam segera memeluk Arsy dengan tubuh kecilnya, berusaha untuk menenangkan sang Bunda, yang berhasil membuat Arsy terkekeh pelan, tak lama setelah itu, Adam melepaskan pelukannya, menatap Abian yang mengusap lengan sang istri.
“Ayah juga,” “Hmm?”
“Ayo, Ayah, kita jadi pengganti Abi, jagain Bunda untuk selamanya.”
Abian tersenyum, bergerak untuk mengecup kening Abian dan Arsy bergantian, “Ayo, kita jadi pahlawan untuk Bunda.”
Arsy manggil orang tua nya Abi sama Umi, Umi nya udah meninggal 3 bulan setelah Arsy sama Abian menikah, 5 tahun setelahnya ( saat ini ) Abi nyusul Umi.
Juan : Sepupu Arsy yang kebetulan jadi temen deket nya Abian waktu kuliah ( karena Juan juga, Arsy sama Abian bisa ketemu )
Syakilla mendorong pelan pagar rumah berwarna abu-abu itu, hingga ketika ia berbalik, hendak menutup kembali pagar rumahnya, pergerakannya terhenti ketika netranya menangkap sosok yang sudah berdiri di luar pagar.
Jantungnya berdetak tak karuan dengan genggaman pada kantong plastik obat milik Gio yang semakin mengerat. Niatnya terganti, Syakilla memilih untuk bergerak keluar, menghampiri sosok yang menatapnya sendu.
“Jean.” Sosok yang di sapa itu tersenyum ragu, memperhatikan Syakilla yang perlahan keluar dari pagar rumah gadis itu.
“H-haiー” “Lo ngapain disini?”
Matanya menatap tajam ke arah Jeandra, mantan kekasihnya yang tiba tiba meninggalkan dirinya untuk menikah dengan wanita lain. Such an asshole.
“I miss you..” Syakilla tertawa pelan seraya bersandar pada pagar rumah.
“Jean, lo nggak akan berhasilー”
“Aku tau,” Ia sedikit memajukan tubuhnya dengan helaan napas berat. “Aku kesini cuma pengen ngeliat kamu, itu aja.”
“Dan kenapa lo bisa tau rumah gue disini?”
”...”
“You're stalking me, aren't you?”
“Kiyaー” “Answer this, asshole.”
Jeandea menghela napas beratnya, “Tadi kebetulan aku liat kamu keluar apotek, aku mau panggil kami nggak bisa karena aku takut kamu ngehindar.”
“Dan lo milih buat ngikutin gue sampe rumah?”
“I'm sorry, Kiya.”
“Lo tau, gue bisa laporin lo ke polisi gegara lo ngikutin gue, Jean.”
“Aku tau.”
“Terus kenapa lo masih ngikutin gue?!!”
Jeandra bergerak semakin dekat, “Karena aku tau, kamu nggak akan ngelakuin itu.” Kedua netra masing masing saling menatap, dengan nafas yang memburu, Syakilla memutus kontak mata mereka terlebih dahulu.
“Apa jaminannya gue nggak akan ngelaporin lo?”
“Cause you're Syakilla.” “Nggak jelas. Pergi, Jean.”
Pemuda dengan balutan kaos putih serta celana pendek selutut itu semakin mendekat, pun dengan pergerakan Syakilla yang terhalang pagar rumahnya, membuat gadis itu tak bisa berbuat apa apa.
“Je-jean.”
Sang pemuda tersenyum manis, “Ternyata aku se-kangen itu sama kamu, Kiya.” Netranya memperhatikan wajah Syakilla dengan seksama dari dekat.
“Bahkan, kayaknya aku nggak akan cukup cuma sekedar ngeliat wajah kamu, meskipun sedekat ini.”
”...”
“Can i hug you?” “Jeanー” “Just once, can i?”
Keduanya saling menatap, dengan perasaan yang tidak bisa di artikan lagi, Syakilla bahkan tidak bisa berbuat apa apa kecuali menggenggam erat kantong plastik obat milik Gio yang masih berada di tangannya.
Merasa tidak ada respon dari Syakilla, Jeandra justru semakin mendekat, dengan tangan yang siap untuk merengkuh tubuh mungil sang gadis yang selama ini ia rindukan.
Perlahan, ia mencoba memastikan bahwa Syakilla baik baik saja ketika ia mencoba memeluknya.
“Nggak boleh pelukan di depan rumah orang.” Suara bass tepat di belakang Syakilla, membuat Jeandra menghentikan pergerakannya, pun dengan Syakilla yang terlonjak kaget seraya menoleh, dan mendapati Gio tengah menatap Jean dengan tajam.
“Gioー ini nggak kayak apa yang kamuー”
“Aku tau,” Pemuda dengan wajah yang masih terlihat pucat itu, tersenyum ke arahnya, bukannya merasa tenang, justru perih yang ia rasakan saat melihat bagaimana netra penuh amarah itu mencoba menahan seluruh perasaannya.
“Kiya, dia siapa?” “Seharusnya saya yang nanya ke kamu, kamu siapa? Kenapa ada di depan rumah kami?”
Alis Jean mengerut, “Kami?” Gio yang melihat itu, terkekeh pelan seraya menundukkan kepalanya sekilas sebelum kembali menatap pemuda yang tak tau malu itu.
“Kamu nggak tau?”
”...”
“Kami, Saya dan Syakilla.” Gio berjalan mendekati pemuda itu, “Kami sudah menikah.”
Gio bisa menangkap raut wajah terkejut Jean, pemuda itu melirik Syakilla yang masih menatapnya dengan tatapan datar, mencoba untuk meminta penjelasan dari sang gadis.
“Kiya, nggak mungkin, kan?”
“Kenapa nggak mungkin? Lo aja nikah tiba tiba tanpa sepengetahuan gue, mungkin mungkin aja tuh.”
Syakilla mengapit lengan kanan Gio dengan posesif, membuat sang empu sedikit terkejut dengan pergerakan Syakilla yang tiba tiba itu.
“Kayaknya gue setuju deh, sama apa yang lo bilang waktu itu,” Gadis itu tersenyum remeh, “Kalau karma, benar benar ada, meskipun gue nggak pernah doain lo biar dapet karma yang setimpal sama apa yang udah lo perbuat ke gue.”
Jeandra mengepalkan kedua tangannya erat, amarahnya meletup pada dadanya, “Sekarang pulang. Percuma kan, lo ngikutin gue? Gue udah jadi istri orang, Jeandra.”
Selang beberapa detik, pemuda itu akhirnya meninggalkan sepasang suami istri itu tanpa kata kata. Gio maupun Syakilla memperhatikan bagaimana Jeandra bergerak menjauh dan menaiki mobil putih yang terparkir tak jauh dari rumah mereka.
Hingga ketika mobil itu benar benar menghilang, Syakilla melepaskan tangannya pada lengan Gio, dan menatap pemuda itu penuh dengan perasaan bersalah.
Memangkup pipi Gio yang masih terasa hangat, “Gio… Kamu bisa marah sama akuー”
“Kamu lama banget…” Putus Gio seraya memeluk tubuh mungil Syakilla yang kaku, “Aku nungguin kamu tau, dari tadi, ternyata malah ngobrol sama mantan kamu. Cih.”
“GioーKamu… Nggak marah?” Sang suami menggeleng tanpa melepas dekapannya, “Ngapain marah sama kamu? Kamu keren gini, mana bisa aku marah sama kamu?”
“Giiii, serius ah.” Gio terkekeh dalam dekapannya sebelum ia melepaskannya, menatap raut wajah Syakilla yang masih terlihat panik.
“Aku serius,” Ia menangkup pipi Syakilla dan mengusap pipi kenyal itu dengan ibu jarinya, “Aku udah merhatiin kalian berdua pas pertama kali ngobrol.”
“Kamu keren. Aku nggak marah sama kamu bukan cuma kamu keren bisa galak sama dia.”
“Aku malah salut sama kamu yang masih berusaha nahan amarah kamu, padahal aku tau, jelas jelas kamu masih marah besar sama Jean perkara masalalu.”
Gio menggenggam kedua tangan Syakilla, “Dan aku seneng,”
“Karena?”
“Pas aku jujur sama Jean kalau kita udah nikah, kamu nggak marah.” Gio tersenyum bahagia, keduanya saling tatap dengan perasaan yang penuh sayang.
“Gio.” “Hmm?”
“Kayaknya kita harus.” Gio sedikit mengangkat kedua alisnya tak mengerti, “H-harus? Harus apa?”
“Backstreet.” Syakilla mengangkat tangannya hingga melingkari pundak Gio, “Kayaknya kita nggak usah backstreet lagi deh.”
Sang lelaki membelalakkan matanya terkejut, “Syakilla, kamu nggak harus maksa-inー”
“Aku nggak terpaksa, Gio.” Ia terkekeh kecil, “Lagian, apa salahnya jujur ke publik kalau aku punya suami ganteng, mana sabar banget gini? Hmm? Aku yakinnya mereka bakal iri sih, pas tau kamu suami aku.”
Syakilla tersenyum jahil, “Fans kamu pasti langsung patah hati.” Gio hanya menahan senyumnya dengan wajah yang mulai memerah, “Nggak papa, nggak papa aku kehilangan fans asal aku bisa bebas post kamu setiap saat, nggak perlu di akun gembokan lagiー”
“Kamu punya akun gembokan??!!!” Senyum yang merekah itu perlahan memudar, digantikan raut wajah yang panik, menatap Syakia yang juga tak kalah terkejutnya.
“M-maksudnyaー” “Coba liat!”
“L-liat apa?” “Akun gembokan kamuuuu! Aku mau liat!”
Gio menggelengkan kepalanya dengan cepat seraya melepas rengkuhannya pada pinggang Syakilla, “Ngg-nggak ada. A-kun gembokan apanya? Itu jenis makanan a-apa?”
Syakilla tersenyum mengejek, “Eiy, nggak usah malu gitu dong suamiku, kan aku cuma pengen tau, gimana bucinnya kamu di akun gembokan itu.”
“Syakilla.”
“Hmm? Apa? Gimana kalo kita mutualan di akun gembokan?” Syakilla sedikit melimbungkan tubuhnya hingga menempel pada dada Gio, yang empunya masih enggan untuk menatap Syakilla yang mendongakーmenatap dirinya dengan tatapan jenakanya.
“A-akun gembokan apa sih? U-udah ah, aku pusing, mau tidur.” Ia sedikit mendorong Syakilla hingga dekapan sang gadis terlepas, detik itu juga, Syakilla tertawa keras seraya melihat bagaimana Gio berjalan cepat meninggalkan dirinya, masuk ke dalam rumah mereka.
“Gio! Kasih tau doong, username akun gembokan kamuuu, biar aku follow dulu deeh, kalo kamu maluu!”
Syakilla masih tertawa sembari menutup pagar, dan ikut masuk ke dalam rumah.
“Gio! Heh! Mana akun kamuuuu!” “Aku gak punya akun gembokan!”
“Hahahahahahaha!!!”
“Bahagia banget kalian berdua.”
Senyum miring tercetak jelas pada wajah sosok yang sedari tadi terdiam di dalam mobil, memperhatikan sepasang suami istri itu.
“H-hai?” “Oh?” Seorang resepsionis tersenyum ke arahnya, “Ada yang bisa saya bantu?”
“Uhm, Zielle-pedia a-ada di lantai berapa, ya?” “Gedung penerbitan itu, ya?” Syakilla mengangguk antusias.
“Ada di lantai 5, Bu, tapi…” “Apa sebelumnya ibu ada janji dengan salah satu karyawan atau atasan dari Zielle-pedia?”
Syakilla menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “B-belum sih, emang harus buat janji dulu?”
“Betul, digedung ini, selain karyawan dan orang-orang yang mempunyai janji, tidak boleh masuk, Bu.”
Syakilla menggigit bibir bawahnya gugup, sesekali melirik sekitar yang mulai menatap dirinya, lalu ia kembali menatap sang resepsionis.
“Saya mau ketemu Gionino.” Wanita dengan seragam hitam bergaris putih pada bagian kancing itu lagi lagi tersenyum.
“Iya, Bu, Ibu harus buat janji terlebih dahulu.”
Sebenarnya, bisa saja dirinya menelpon Gio saat itu juga untuk menjemputnya di lobby, namun ketika ia mengingat tujuannya kemari untuk memberi kejutan sang suami, ia mengurungkan niatnya.
“Mbak t-tau siapa saya?”
Resepsionis itu masih memasang senyumannya, “Mbak Syakilla Meira.”
Syakilla menjetikkan jarinya, “Betul! Hehehe, jadi, boleh kan sayaー”
“Maaf, Mbak, ini sudah kebijakan pemilik gedung.” Syakilla melengkungkan bibirnya ke bawah.
“Mbak, please laaah, ayo bantu aku, please please pleasee…“ Sang resepsionis malah terkekeh ketika melihat bagaimana Syakilla memohon dengan kepalan tangan berada di depan.
“Sekali lagi maaf, Mbak Syakilla.” Gadis dengan sepatu Converse nya itu menghentakkan kakinya, “Di Raksa nggak se ketat ini tau. Cih.”
“Raksa sudah punya gedung sendiri, Mbak, dan kebijakan disana tidak seketat gedung ini yang menaungi beberapa perusahaan sekaligus.”
Syakilla mengerutkan dahinya penasaran, “Kok Mbak tau banget?”
“Kebetulan ada kenalan saya yang jadi karyawan disana.” “Oh ya? Siapa Mbak?”
“Rajendra.” “Oh? Si tinggi itu?! Itu mah Tim saya buat launching book kemarin, Mbak!” Si resepsionis dengan name tag Julia itu tertawa pelan.
“Jadi,” Syakilla merapatkan tubuhnya pada meja resepsionis, “Boleh kan….?”
“Hahaha, maaf, Mbak Syakilla..” Syakilla mendesah panjang dengan kaki yang kembali di hentakkan.
“Mbak, saya tuh mau ngasih kejutan ke Gio, saya bisa aja nih langsung telfon dia, tapi kan saya kesini mau ngasih kejutan ke Gio!”
“Maaf, Mbak Syakilla, saya nggak bisa bantu, ada keamanan yang masing masing jaga di depan pintu lift.” Syakilla ikut melihat arah tatap Julia, dan benar saja, ada beberapa orang yang berdiri di depan lift.
“Astaga, ni gedung ketat amat buset.” Syakilla berdecak pelan, netranya menatap tas yang tengah ia bawa itu.
'Kalo gue bilang yang sebenarnya, ni resepsionis bakal bantu gue gak?'
'Tapi kalo gue ngasih tau dia, Gio marah nggak ya? Maksudnya, gue gatau ni orang mulutnya gimana.'
“Mbak,” “Iya?” “Mbak mau aku kasih tau rahasia nya Gio, nggak?”
”...” “Tapi nanti kalo udah aku kasih tau, aku bantu buat masuk, ya?”
Julia tertawa pelan, “Mbak Syakilla, sayaー”
“Aku istrinya Gio.”
Hening.
Syakilla hanya memejamkan matanya, membukanya dengan perlahan dan menatap Julia yang tengah menatapnya terkejut, pun beberapa orang yang melewati dirinya berhenti seraya menatapnya heran.
“M-mbak?”
“A-aku udah ngomong jujur l-lohー”
“Ada apa ini?” Semua mata yang awalnya tertuju pada Syakilla, kini beralih pada wanita dengan balutan blouse merah maroon di padukan rok hitam diatas lutut yang memperlihatkan lekukan tubuhnya.
“Selamat siang, Bu Alin.” Mendengar nama itu, Syakilla yang awalnya terdiam, langsung membelalakkan mata.
“Oh? Ini Alin? Sekretaris nya Gio kan? Anterin gue dong, gue mau ketemu Gio.”
“Ada urusan apa kamu ketemu sama atasan saya?” Syakilla mengangkat tas yang ia bawa, “Mau lunch bareng.” Katanya dengan senyum lebarnya.
“Maaf, tapi Pak Gio lagi sibuk, dan juga, beliau akan makan siang bersama saya.”
“Oh iya?” Syakilla memajukan tubuhnya hingga lebih dekat dengan Alin, “Coba kasih tau Gio dulu, ada istrinya di bawah mau ngajak lunch bareng, kira kira dia bakal tetep milih lo buat diajak lunch bareng nggak?”
Senyum remeh terpatri pada wajah elok Alin hingga membuat Syakilla mengerutkan dahinya penasaran.
“Mbak… Mbak… Saya udah sering ngadepin orang yang ngaku jadi istrinya Pak Gio buat ketemu dengan beliau,” Alin memajukan tubuhnya sampai membuat Syakilla sedikit memundurkan langkahnya.
“Lebih baik anda keluar dari gedung ini, toh Mbak belum ada janji sama Pak Gio kan?”
Baru saja Alin hendak meninggalkan Syakilla, langkahnya terhenti saat mendengar suara gadis yang berada di belakang nya.
“Gue ngomong apa adanya kok.” “Kalau gue, istri Gio!”
Semua mata tertuju pada Syakilla dan Alin yang kembali berhadapan, “Kalo lo nggak mau nganter gue, yaudah, biar gue sendiri yang ke atas.”
Tangannya di cekal begitu saja oleh Alin saat Syakilla berjalan menuju lift, “Jangan seenaknya, ini bukan gedung kamu, dan kebijakan disini, orang yang tidak berkepentingan tidak boleh masuk.”
“Gue istrinya Gio. Dan gue mau ketemu sama suami gue.”
“Jangan gila.” Pergerakan Syakilla terhenti ketika suara Alin kembali menggema, “Kamu publik figur tapi kelakuannya kayak orang gila, main klaim kalau Pak Gio suami kamu, padahal Pak Gio sendiri belum menikah.”
“Lo yang harusnya gue gitu-in, orang gila kayak lo, nggak pantes jadi sekretaris nya Gio, liat, pakaian lo aja nggak mencerminkan gimana seorang sekretaris. Mau ke diskotik apa kantor lo?”
Cengkraman yang semakin kuat pada pergelangan Syakilla, tak membuat gadis itu meringis, justru, wajahnya semakin terlihat tegas menatap Alin yang sudah di bakar amarah.
“Jaga mulut kamu.”
“Dan lo, jaga sikap. Gue liat liat lo makin nempel sama suami gue, kenapa? Suka sama suami gue? Sayangnya, rasa suka lo bertepuk sebelah tangan. Gue minta maaf atas nama suami gueーshhh.”
Dirinya ditarik hingga semakin mendekati Alin, gadis itu sudah tidak sanggup menahan rasa sakit pada cengkraman erat pada pergelangan tangannya.
“Gila. Kamu. Gila.” Cengkramannya dilepas secara kasar, “Pak Budi!”
Tak lama setelahnya, seorang satpam berlari ke arah kedua gadis itu, “Ya, Bu?”
“Seret cewek gila ini keluar gedung, jangan sampai menginjakkan kaki nya di gedung ini lagi.”
Mata Syakilla membelalak kaget saat mendengar ucapan Alin, wanita itu hanya menatapnya tajam dengan tangan mengepal di sisi kiri dan kanan, lalu kepalanya kembali menatap pria paruh baya yang berada di samping Syakilla.
“Tunggu apa lagi? Seret keluar, Pak Budi.”
“E-eh?! APA-APAAN SIH?! P-pak! Saya bukan orang gila! Saya emang istrinya GioーIh! Jangan pegang pegang saya! Alin! Alin! Lo apa-apaan sih?!”
Alin hanya menatap bagaimana Budi mencoba menyeret Syakilla yang terus memberontak, melirik beberapa orang yang masih berada di lobby, memperhatikan bagaimana penulis terkenal itu di seret dengan paksa.
Tubuhnya berbalik, menuju lift dengan tangan mengangkat ponsel yang sedari tadi ia genggam.